Jumat, 19 Oktober 2007

Nobel Menampar Kita (Lagi)

Kompas, 16 Oktober 2007


Al Gore dan Panel Antar-pemerintah Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim (IPCC) akhirnya diumumkan sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian tahun ini. Penghargaan ini diberikan untuk “usaha-usaha mereka menyebarluaskan pengetahuan mengenai perubahan iklim yang disebabkan oleh perbuatan manusia serta meletakkan landasan bagi usaha mengatasinya”.

Kontroversi pun merebak. Sebagian kalangan mempertanyakan, apa kaitan antara perubahan iklim atau isu lingkungan dengan perdamaian? Bagi kita di Indonesia, layak pula dipertayakan, apa relevansi hadiah Nobel Perdamaian 2007 itu? Pelajaran apa yang bisa kita ambil?

Dari Hilir ke Hulu

Ada gejala tegas bahwa Komite Nobel Perdamaian makin meluaskan makna “perdamaian”. Tahun lalu, Nobel Perdamaian diberikan untuk Muhammad Yunus dan Grameen Bank untuk “usaha-usaha menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial dari bawah.”

Hadiah Nobel Perdamaian itu pun meresonansikan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, September 2000, yang menyepakati Millennium Development Goals atau Tujuan Pembangunan Millenium (TPM). Tujuan pertama sampai dengan ketujuh menekankan penting dan gentingnya penghapusan kemiskinan, peningkatan derajat kesehatan, perbaikan lingkungan dan akses pada pengetahuan. Sementara tujuan ke delapan menekankan pengembangan kerja sama global untuk pembangunan.

TMP tak hanya menggarisbawahi penting-gentingnya kemiskinan sebagai salah satu persoalan pokok global, tetapi memosisikannya sebagai hulu dari banyak persoalan lain. Dalam konteks ini, dalam pertemuan Regional tingkat Menteri se-Asia Pasifik, Agustus 2005, sang Direktur program PBB ini, ekonom Jeffrey D. Sach, menggarisbawahi: “Tanpa pembangunan global kita tak mungkin mencapai keamanan global …. Tak ada perang melawan teroris tanpa memerangi kemiskinan.”

Di dunia kita hari ini, setiap hari delapan juta orang meninggal karena terlalu miskin untuk bertahan hidup. Sementara 1,1 milyar manusia, atau seperenam penduduk bumi, terpuruk dalam – apa yang disebut Sach dalam The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time (2005) sebagai – ”kemiskinan ekstrim”. Dunia kita sejatinya dipenuhi kemiskinan. Inilah lahan subur bagi konflik, permusuhan dan terorisme. Ladang kering dan tandus bagi perdamaian. Pesan inilah yang diresonansikan Komite Nobel Perdamaian tahun lalu.

Tahun ini, perluasan makna perdamaian menjangkau isu lingkungan hidup, terutama isu pemanasan global. Panel PBB dan Al Gore, sulit dibantah, telah memberi kontribusi penting bagi perluasan sensitivitas umat manusia pada persoalan penting dan genting ini.

Melalui buku dan film peraih Oscar, An Inconvenient Truth, misalnya, Al Gore telah memfasilitasi tumbuhnya kesadaran mondial akan pemanasan global. Pada saat sama, kesadaran umat manusia akan konsekuensi kerusakan lingkungan juga diperkuat oleh merebaknya bencana dan wabah penyakit serta makin tak terduga dan tak bersahabatnya perubahan iklim. Kerusakan lingkungan pun – sebagaimana halnya kemiskinan – makin dipahami sebagai hulu dari banyak persoalan lain, termasuk perdamaian.

Maka, dalam dua tahun terakhir, Komite Nobel sejatinya menunjukkan sebuah perubahan kecenderungan yang radikal. Isu-isu perdamaian tak lagi dilihat pada hilirnya (konflik, perang, negosiasi, détente, perdamaian) melainkan pada hulunya (hal ihwal yang potensial mencederai perdamaian). Komite Nobel tidak lagi berkutat pada “akibat” (hal-hal yang disebabkan) melainkan menelusuri sisi “sebab” (hal-hal yang memfasilitasi atau menyebabkan perdamaian).

Perubahan radikal itulah yang mengantar Muhammad Yunus, Grameen Bank, Al Gore, dan Panel PBB untuk meraih penghargaan presitisius itu. Perubahan pendekatan itu pula yang menyingkirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (untuk peranannya dalam perdamaian Aceh) tahun lalu, dan mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisari (untuk perananannya sebagai mediator atau fasilitator perdamaian di beberapa belahan dunia) tahun lalu dan tahun ini, dari kemungkinan meraih Nobel.

Menampar Kita

Walhasil, dua tahun berturut-turut Indonesia “ditampar” Komite Nobel Perdamaian. Tahun lalu, hadiah untuk Muhammad Yunus dan Grameen Bank diberikan di tengah kegagalan kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan. Tahun ini, hadiah untuk Al Gore dan Panel PBB diberikan di tengah kegagalan kita memprioritaskan isu lingkungan serta menseriusi penyelematannya.

Data Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan mengalami penurunan dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi berturut 18,41 persen, 18,20 persen, dan 17,42 persen dalam tiga tahun berikutnya. Namun, kecenderungan itu mengalami pembalikan dalam dua tahun berikutnya. Pada tahun 2004, tingkat kemiskinan mencapai 16,60 persen, lalu turun ke 15,97 persen tahun lalu dan justru meningkat menjadi 17,75 persen tahun lalu.

Masalah lingkungan hidup setali tiga uang. Reformasi yang telah berjalan satu dekade sejauh ini gagal meyakinkan para pembuat kebijakan untuk memprioritaskan penanganan lingkungan hidup secara lebih saksama. Kurangnya komitmen pemerintah sangat tampak dari minimnya anggaran yang dimobilisasi untuk penanganan lingkungan dan sumber daya alam. Selain itu, belum terlihat adanya program-program penyelematan lingkungan yang berarti. Sebaliknya, selain disemati gelar perusak hutan tercepat di dunia, Indonesia juga menjadi salah satu negara di dunia yang paling abai pada pentingnya konservasi dalam pengelolaan pembangunannya.

Maka, hadiah Nobel Perdamaian dalam dua tahun berturut-turut adalah dua tamparan berurutan bagi kita. Untuk menghindari tamparan-tamparan berikutnya ada baiknya kita menyegerakan dan menegaskan perubahan sebagaimana yang sudah dimulai oleh Komite Nobel Perdamaian.

Kita dituntut bergeser dari kegemaran mengurusi ”akibat” ke ”sebab”. Kita didesak untuk tak sekadar mengatasi soal-soal di hilir tapi menyelesaikan sumber-sumber masalah di hulu. Kita diingatkan untuk tak hanya mengurusi soal-soal permukaan melainkan mengatasi sumber-sumber perkara pada akarnya. Kita didorong untuk tak sekadar mengatasi banyak masalah pada gejala kasat mata atau simptom-simptonnya melainkan pada sumber-sumber panyakitnya.

Dengan cara itulah kita mengambil pelajaran secara konstruktif dari Nobel Perdamaian. Dengan cara itu pula kita menunjukkan diri sebagai ”bangsa yang besar”.