Selasa, 09 Oktober 2007

Menegakkan Politik Lingkungan

Kecemasan adalah tema pokok berita utama Kompas kemarin (Senin, 24/09/07). Laju pengrusakan hutan dan pesisir berjalan cepat sementara laju rehabilitasinya tertaih-tatih terabaikan. Di tengah ancaman pemanasan global yang makin konkret, kita di Indonesia justru terus sibuk merusak lingkungan.

Lingkungan hidup adalah isu mendasar yang terpinggirkan dalan simpang siur dan hiruk-pikuk isu-isu politik permukaan. Benar, masa depan demokrasi perlu diperjuangkan dan program-program penyejahteraan sosial-ekonomi masyarakat perlu digalakkan. Tapi, bisakah demokrasi dan kesejahteraan tegak di tengah punahnya daya topang ekologi? Bisakah kita terus berdiri gagah sebagai bangsa demokratis di tengah kepungan kerusakan lingkungan tak terpanai?

Jika jawabannya adalah “tidak”, lalu apa yang seyogianya kita lakukan? Izinkan saya masuk ke isu yang tak seksi tetapi sesungguhnya penting dan genting ini.

Kesadaran Kasip

Lebih dari cukup alasan untuk mencemaskan kerusakan lingkungan sebagai persoalan pokok kita. Berbagai fakta dan data memilukan tentang kerusakan dan pengrusakan lingkungan dengan mudah kita deretkan.

Beberapa bulan lalu, badan dunia FAO melansir sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap setiap hari atau atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya!

Lembaga lain (UNEP/GRID-Arendal) Mei lalu mempublikasikan perubahan wajah Pulau Kalimantan dalam enam dekade ke belakang dan satu setengah dekade ke depan. Pada tahun 1950, Kalimantan nyaris dipenuhi hijau hutan. Tahun 2005, Kalimantan sudah kehilangan sekitar 50% hijaunya. Pada 2020, diestimasikan bahwa hanya sedikit warna hijau (sekitar 25% saja) yang akan tertinggal di pulau ini.

Sebuah gambar satelit menggambarkan perubahan Jakarta secara dramatis. Tahun 2010 nanti, permukaan air laut diestimasikan sudah makin merambah masuk ke daratan. Pada 2020, sebagian Bandara Sukarno-Hatta sudah mulai tergenangi air laut. Bahkan pada 2050, permukaan air laut sudah mengancam kawasan Monumen Nasional di pusat ibukota.

Pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut yang diakibatkannya adalah ancaman konkret yang tak bisa dihindari. Majalah Times (edisi 1 Oktober 2007) memperlihatkan bahwa lapisan es di Kutub Utara yang sudah menyusut lebih dari 20% dalam 25 tahun terakhir. Pencairan es ini akan terus berlangsung hingga tinggal sekitar 20% saja pada 2040. Pada saat itu, Indonesia diestimasikan akan akan kehilangan lebih dari 2.000 pulaunya yang tenggelam.

Fakta dan data bisa dibikin makin panjang. Tapi, celakanya, sungguh sulit membuat kita tersadar akan ancaman kerusakan lingkungan beserta akibatnya itu. Pun, sungguh sulit membangun motivasi untuk melawannya secara saksama. Umumnya kita memang punya kesadaran yang kasip – kesadaran yang secara terlambat dating di saat bencana sudah kita jelang.

Bahkan, setelah berbagai pintu perubahan terbuka lebar sejak hampir sepuluh tahun lampau, kita tetap terlelap dan tak memanfaatkannya untuk menaikkan kepedulian dan aksi penyelamatan lingkungan. Akibatnya, sukses demokratisasi secara politik dan proseduran justru secara ironis berbanding terbalik dengan sukses pengelolaan lingkungan. Tetapi, tak ada kata kasip untuk memperbaiki langkah.

Pertobatan Nasional

Bagaimanapun, kerusakan lingkungan bukanlah buatan alam atau kiriman Tuhan. Ia adalah buah tangan kita sendiri. Ia adalah konsekuensi logis dari kecenderungan kita untuk menempatkan produksi di atas koservasi, pertimbangan hari ini di atas kebutuhan masa depan, kepentingan semasa di atas kepentingan generasi mendatang, pencapaian material-segera di atas pemeliharaan kualitas hidup berdaya jangkau panjang.

Strategi dan pendekatan pembangunan yang kita kelola pun akhirnya gagal untuk memenuhi tiga kriteria mendasar dalam pengelolaan ekologi. Pertama, kita membiarkan pemanfaatan “sumber daya alam terbarukan” melebihi laju regerenasinya. Sekadar missal, hutan kita eksploitasi habis-habisan sambil mengabaikan rehabilitasi dan penghijauan kembali.

Kedua, kita membiarkan laju penipisan “sumber daya tak terbarukan” sambil tak menimbang pengembangan sumber daya substitusinya. Dalam konteks inilah minyak bumi kita eksploitasi sambil alpa menyiapkan sumber energi alternatif jauh-jauh hari. Ketiga, kita membiarkan produksi limbah yang melebihi kemampuan asimilasi lingkungan. Sampah, misalnya, kita produksi tanpa menimbang kemampuan lingkungan menyerap dan mengasimilasikannya.

Dengan kekeliruan mendasar dan struktural yang kita pelihara dalam rentang waktu yang lama, kerusakan lingkungan pun berjalan dalam deret ukur sementara kemampuan kita memperbaiki kerusakan itu berjalan dalam deret hitung. Dalam kerangka ini, ancaman terhadap masa depan demokrasi dan peluang sukses penyejahteraan sesungguhnya pertama-tama dan terutama tidak datang dari kekeliruan strategi demokratisasi dan penyejahteraan itu. Ancaman terpokok datang dari ssumber yang jauh lebih mendasar: kegagalan kita memelihara daya dukung ekologi bagi kelangsungan hidup umat manusia di atas permukaan bumi.

Maka, menurut hemat saya, salah satu ukuran apakah kita seorang demokrat yang otentik-asli atau tidak adalah seberapa jauh kita punya sensitivitas lingkungan, seberapa jauh kita tergerak untuk melakukan perubahan radikal dalam pengelolaan lingkungan.

Benar bahwa setiap orang punya sumbangan atas kerusakan lingkungan sekaligus punya potensi untuk memberi kontribusi bagi perbaikannya. Benar bahwa pada level aksi sehari-hari, setiap orang bisa memberi sumbangan melalui aktivitas yang amat bersahaja (menghemat penggunaan listrik, kertas dan segala hal yang bahan bakunya dieksploitasi dari hutan, mengelola sampah rumah tangga dengan saksama, dan lain-lain).

Namun, terlepas dari itu semua, perubahan pada level kebijakan dan penguatan kelembagaan lingkungan hidup (di pusat dan di daerah) sangat diperlukan sebagai fondasi bagi perubahan yang lebih bersifat struktural dan berdimensi jangka panjang. Dalam kerangka itu, kesungguhan langkah serta mobilisasi sumber daya manusia dan anggaran mendesak diperlukan saat ini.

Tanpa atau dengan menjadi penyelenggaran Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim (yang rencananya akan diadakan di Bali akhir tahun ini), pemerintah ditunggu untuk menegaskan bahwa mereka tak sekadar pidato dan menghimbau tapi benar-benar berbuat secara konkret. Sudah terlampau lama kita menunggu menguat dan berkembang biaknya kesadaran akan lingkungan hidup dari para penyelenggara negara.

Pendeknya, sebuah pertobatan nasionak dibutuhkan. Di dalamnya, setiap orang melakukan bagian pertobatannya sendiri-sendiri.

1 komentar:

Ribut Lupiyanto mengatakan...

Betul Bang.....Lingkungan slalu jd aset yang diperebutkan demi pemuasan ekonomi politik....entah demi popularitas hingga bagi-bagi ke kantong pribadi oknum2 politisi (pemimpin)....saatnya kepemimpinan yang pro lingkungan (dalam kebijakan nyata bukan janji maya)....