Selasa, 09 Oktober 2007

Mencicil Optimisme

Sejarah tak pernah merupakan deretan potret atau kumpulan gambar terpotong yang diam. Sejarah selalu merupakan rangkaian adegan gambar hidup yang sambung menyambung.

Maka, pembicaraan tentang satu tahun tak bisa lepas dari diskusi tentang tahun lain yang mengantarnya serta yang dijemputnya. Begitulah, perbincangan tentang tahun 2007 mesti menyertakan diskusi mengenai 2006 yang mengantarnya serta 2008 yang dijemputnya. Politik Indonesia 2007 pun diantar oleh politik Indonesia 2006 dan menjemput politik Indonesia 2008.

Dalam konteks itu, sejumlah kalangan (sebagaimana terpotret media) memperbincangkan politik 2007 dalam konteks perlombaan pesimisme. Tahun 2007 dipandang tak akan menjadi tahun yang berbeda dan lebih baik. Mereka beranggapan bahwa modal bagi pesimisme telah dipupuk dengan baik sepanjang 2006, sementara tahun 2008 yang dijemputnya dilanda “demam politik tinggi” menjelang Pemilu 2009. Tahun 2007 dipandang sebagai tahun yang terjepit di antara suramnya 2006 dan ketidakpastian politik 2008.

Pesimisme Tak Relevan

Tentu saja selalu tersedia alasan untuk pesimis. Tapi, persoalannya bukan di situ. Persoalannya, pesimisme tak akan pernah menjadi modal memadai untuk merebut hari ini dan besok yang lebih baik. Meminjam Noam Chomsky, “Jika Anda berlaku seolah-olah tak ada peluang bagi perubahan, maka sebetulnya Anda sedang menjamin bahwa memang tak akan ada perubahan.”

Selain itu, pesimisme kerapkali tidak terlalu relevan bagi “para pemain”. Di masa lalu, kita memang mau tak mau, suka atau tidak, dipaksa menjadi penonton, sementara perubahan diserahkan kepada para “wali”, yakni para elite yang bekerja seolah-olah atas nama dan untuk kita. Sekarang, zaman itu sudah lewat. Dari penonton, posisi kita bergeser menjadi pemain. Konsep “wali” digantikan oleh “mandat”.

Benar bahwa para elite – termasuk wakil-wakil kita di lembaga legislatif dan pejabat publik yang kita pilih – kerapkali tetap mengabaikan kepentingan dan aspirasi kita. Tetapi, posisi kita sebagai pemberi mandat tak bisa digantikan dan dihentikan. Dalam konteks ini, perilaku elite yang menyebalkan dalam batas-batas tertentu mencerminkan karakteristik para pemilih mereka. Dalam batas-batas tertentu, pada waktu-waktu tertentu, kita sesungguhnya bisa menghentikan mereka.

Persoalannya, harapan mengenai perubahan perilaku elite hanya mungkin terwujud manakala setiap orang pun lebih dahulu melakukan perubahan kualitas dirinya – sebagai warga negara maupun sebagai (calon) pemilih). Dalam konteks inilah, setiap orang tak berkesempatan menjadi penonton. Setiap orang dituntut menjadi pemain dalam kapasitas masing-masing yang serba terbatas.

Bagi sebagian orang, argumentasi di atas boleh jadi terasa romantis. Tetapi, sejarah peradaban-peradaban besar membuktikan bahwa “romantisme” perubahan-berbasis-orang-per-orang seperti itulah yang tebukti menjadi modal yang layak untuk merebut besok yang lebih baik.

Dalam kerangka itulah, sebuah peribahasa dikenali oleh sejumlah masyarakat demokratis: Beda antara optimisme dan pesimisme sesungguhnya tipis belaka; optimisme adalah berusaha merebut donat, pesimisme merebut lubangnya. Ya, bagi para pemain, bukan penonton, pesimisme pun menjadi tak relevan.

Mencicil Optimisme

Persoalannya: Mungkinkah kita, di Indonesia, memasuki 2007, dengan penuh optimisme? Tersediakan alasan untuk optimis di tengah centang perenang politik dan ekonomi kita beberapa tahun terakhir? Tidakkah optimisme yang dipaksakan hanya akan menjadi pelipur lara, bahkan semacam upaya membohongi diri sendiri?

Alih-alih langsung menjawab langsung deretan pertanyaan krusial itu, kita selayaknya mulai dengan membongkar ulang “paradigma” kita tentang optimisme versus pesimisme. Selama ini, kita terbiasa membayangkan Indonesia sebagai sebuah “satuan besar” yang beban pembenahannya diletakkan sepenuhnya di pundak kita. Kita tak dibiasakan memandang pembenahan Indonesia sebagai hasil penjumlahan dari usaha-usaha kecil yang dikerjakan banyak orang dengan segenap keterbatasan masing-masing.

Kita pun terbiasa memandang sejarah sebagai hikayat orang besar yang di pundak mereka Indonesia Raya diusung ke mana-mana. Kita tak terbiasa memahami sejarah sebagai percikan keringat orang-orang yang namanya tak dikenal, yang jumlahnya jutaan, yang memikul serpihan-sepihan kecil Indonesia sesuai dengan keterbatasan kemampuan dan arena kerja masing-masing.

Terjadilah kekeliruan paradigmatik sebagai konsekuensinya. Kita terbiasa menunggu orang-orang besar bekerja atas nama dan untuk kita. Kita terbiasa menitipkan perebutan masa depan pada segelintir orang yang kita pandang “lebih dari kita”. Kita pun tak terbiasa “mencicil Indonesia”.

Sebagai sebuah proyek, agenda kerja, tanggung jawab, atau tuntutan hidup, Indonesia pun terasa berat. Kita pun dipaksa untuk tak bisa memelihara optimisme. Pesimisme pun begitu dekat dengan kita, bahkan tak hadir sebagai sebuah pilihan, melainkan sesuatu yang tak terhindarkan. Kita terbiasa memborong pesimisme dan, sebaliknya, tak pernah belajar mencicil optimisme.

Langkah kaki kita ke 2007 selayaknya dimulai dengan belajar mencicil optimisme. Kita, orang per orang, memang tak akan pernah kuasa membuat Indonesia yang lebih baik sendirian. Tapi, kita bisa melakukan perbaikan dalam skala yang terjangkau, di arena tempat aktivitas masing-masing. Setiap orang pun akan punya skala atau ukuran optimisme versus pesimismenya masing-masing.

Maka, setiap orang, dengan cara masing-masing, mencicil optimisme. Pada titik inilah optimisme bukan saja menjadi sebuah kemungkinan yang terbuka melainkan juga perlengkapan yang sesungguhnya telah kita miliki.

Bagi mereka yang terbiasa dengan mekanisme kerja sentralistik dan perolehan hasil yang instan, gagasan ini tentu tak menarik. Tapi, di sinilah persoalan Indonesia selama reformasi. Kita terbiasa mengelola turbulensi di era baru -- yang diakibatkan oleh proses perpindahan dari yang lama ke yang baru itu -- dengan menggunakan logika lama.

Izinkanlah saya menulis analisis politik yang tak lazim ini untuk menyambut 2007. Ini semacam ajakan untuk menanggalkan logika lama dalam mengelola turbulensi di era baru. Semoga kita bisa membangun kesadaran dan kekuatan serta merebut kesempatan untuk menjemput besok yang lebih dari hari ini dan hari ini yang lebih baik dari kemarin.

[Kompas, 9 Januari 2007]

Tidak ada komentar: