Salah satu isu yang selalu populer dalam diskusi-diskusi politik di Indonesia adalah dinamika hubungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Akankah mereka sanggup memelihara hubungan kemitraan yang saling isi dan saling sokong? Akankah mereka terus berhubungan secara baik hingga akhir termin pemerintahan mereka? Akankah mereka terpecah dan berkonflik ketika Pemilu 2009 makin dekat? Akankah duet mereka terus menguat atau justru berkembang menjadi duel?
Ada banyak cara menjawabnya. Salah satunya adalah dengan mengingat salah satu adegan kecil dan terabaikan dalam kunjungan Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush, ke Indonesia akhir tahun lalu.
Di tengah kunjungan Bush itu, Ibu Negara Laura Bush memberikan bantuan buku-buku untuk perpustakaan anak-anak yang dikelola Ibu Negara Indonesia, Ani Yudhoyono. Dari potret yang dimuat The Point, kita tahu bahwa penyerahan bantuan itu dilakukan secara simbolik dengan penyerahan buku Peggy Rathmann, Officer Buckle and Gloria (1995), dari Laura Bush kepada Ani Yudhoyono.
Pilihan atas buku ini tentu saja masuk akal. Setahun setelah diterbitkan penerbit Putnam, buku ini meraih The Caldecott Medal, penghargaan paling bergengsi untuk buku anak-anak bergambar. Sejumlah besar penghargaan dan apresiasi lain juga diterima buku ini: ALA Notable Children's Book, Ohio Teachers' & Pupils' Reading Circle 1996-97 selection, American Bookseller "Pick of the Lists", Book Links "A Few Good Books of 1995”, Booklist "Editors' Choice '95", Child Magazine "Best Books of 1995", Horn Book Fanfare selection, Parenting Magazine "Best Books of 1995", School Library Journal "Best Books of 1995", dan New York Public Library 1995 Children's Books: "100 Titles for Reading & Sharing".
Tapi, yang menarik adalah koinsidensi di antara isi buku ini dengan situasi yang dihadapi kepemimpinan politik Indonesia. Cerita di buku itu dengan mudah mengingatkan kita pada dinamika hubungan Yudhoyono-Kalla.
Sebagaimana tergambar dalam judulnya, buku ini bercerita tentang seorang polisi, Officer Buckle, dan seekor anjing yang menjadi mitra kerjanya, Gloria. Bermitra dengan Gloria semestinya membuat Officer Buckle lebih terbantu dan aman. Bukankah untuk itulah seorang mitra kerja hadir di samping kita?
Tapi, cerita tentang hubungan keduanya agak berbeda. Gloria senang berimprovisasi dengan trik-trik baru yang justru membahayakan dan merepotkan partnernya. Officer Buckle pun seringkali justru lebih terancam karena trik-trik Gloria, dan bukan sebaliknya. Maka, bagi Officer Buckle, Gloria adalah mitra yang diperlukan tapi sekaligus mengancam.
Alih-alih nyaman, Officer Buckle justru merasa tak aman bermitra kerja dengan Gloria. Maka terbangunlah dilema dalam hubungan mereka: dilema keamanan versus persahabatan. Buku ini, seperti mudah diduga, akhirnya menempatkan persahabatan lebih penting dari keamanan. Dengan segala dinamikanya, hubungan mereka terus berjalan atas nama persahabatan. Soal keamanan memang tak selesai, tapi mereka mengelolanya sebagai sebuah ancaman yang tak merusak hubungan persahabatan di antara mereka.
Tentu saja, Yudhoyono-Kalla tak bisa dianalogikan secara harfiah dengan polisi dan mitranya dalam cerita Officer Buckle and Gloria. Tetapi, secara substansi, begitulah kurang lebih suasana hubungan Yudhoyono-Kalla. Atas nama ”persahabatan” yang mengalahkan ”keamanan”, hubungan Yudhoyono-Kalla akan terjaga hingga akhir termin pertama mereka, 2009.
Kalla memang bukan Wapres biasa. Posisi politiknya yang kuat membuatnya menjadi mitra Presiden yang kuat dan potensial. Namun demikian, kesigapan geraknya, keberanian langkah-langkahnya, keberaniannya mengambil resiko dan langkah-langkahnya yang spontan, spekulatif dan kurang hati-hati terbukti berpotensi mendatangkan kerepotan bagi Yudhoyono. Alih-alih kenyamanan dan keamanan, Yudhoyono pun bisa terancam oleh situasi sebaliknya.
Cerita berkembang lebih dinamis ketika Pemilu 2009 mendekat kelak. Keduanya akan kembali ke haribaan partai politik masing-masing. Perbedaan, ketegangan dan konflik pun potensial terbangun di antara keduanya. Namun demikian, kebutuhan untuk tetap bersahabat dan membuktikan bahwa pemerintahan yang mereka pimpin bekerja baik dan sukses, membuat keduanya tak akan mengalami perpecahan dramatis. Siapapun tak bisa berharap bahwa keduanya akan menjadi anjing dan kucing seperti yang pernah terjadi di antara Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Sukarno Putri (1999-2001). Selebihnya, tentu hanya waktu yang bisa menjawab.
Tapi jangan lupa. Dinamika kemitraan Yudhoyono-Kalla tak hanya dibentuk dan dipengaruhi oleh mereka berdua. Terlibat pula faktor-faktor di luar mereka. Terlibat pula aktor-aktor secara luas, yakni para politisi dan partai politik yang berkiprah di lembaga eksekutif maupun legislatif.
Pada titik ini, kita berpindah dari buku Officer Buckle and Gloria ke buku anak-anak lain, Annie and the Wild Animals. (Boleh jadi buku ini pun termasuk salah satu buku yang disumbangkan Laura Bush untuk Indonesia.)
Annie and the Wild Animals adalah sebuah buku bergambar (picture book) yang ditulis Jan Brett dan diterbitkan Houghton Mifflin pada 1985. Buku ini bercerita tentang pertemanan manis antara seorang gadis bernama Annie, dengan binatang-binatang lapar di sebuah hutan musim dingin. Annie punya kebiasaan membagi kue jagung lezat miliknya ke sejumlah binatang.
Tapi, makin lama makin banyak binatang lapar yang menuntut ikut memperoleh kue Annie. Ketersediaan kue dan jumlah binatang yang menginginkannya menjadi makin tak seimbang. Keadaan pun tak terkendali. Persahabatan Annie dan binatang-binatang itu pun mesti berkutat dengan persoalan bagaimana memuaskan para binatang yang sama-sama menginginkan kue jagung Annie.
Yudhoyono-Kalla kurang lebih menghadapi situasi serupa Annie. Pemerintah mau tak mau mesti menggalang dukungan politik dari partai dan lembaga legislatif. Jika tidak, pemerintah akan sulit meloloskan kebijakan-kebijakan yang mereka buat. Mereka mesti pandai mengelola ”politik insentif” berhadapan dengan tuntutan politisi dan partai. Jika tidak, para politisi dan partai yang terkecewakan bisa saja menjadi meriam liar yang sulit dikendalikan pemerintah.
Memburuk atau membaiknya dinamika hubungan Yudhoyono-Kalla pun terbangun di tengah konfigurasi politik yang khas hasil Pemilu 2004. Pertama-tama, Presiden dan Wapres harus membentuk formula hubungan yang memungkinkan mereka saling tahu diri dan saling jaga. Mereka mesti mengelola titik temu dan titik pecah di antara mereka secara layak sehingga tak merusak fondasi politik terpenting yang mengikat mereka hingga 2009. Pada saat yang sama, hubungan pragmatis dengan para politisi dan partai-partai harus terus terjaga. Sementara itu, kredibilitas kebijakan harus tetap terpelihara dan kepentingan publik terakomodasi.
Semua itu mudah diucapkan tapi sungguh sulit dipraktikkan. Ada baiknya, untuk menemukan inspirasi tentang jalan keluar yang manis, Yudhoyono, Kalla dan para politisi kita membaca kembali Officer Buckle and Gloria dan Annie and The Wild Animals atau buku anak-anak lainnya. Pelajaran kadang kala kita temukan secara mengejutkan di tempat yang tak lazim.
Selasa, 09 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar