Jumat, 19 Oktober 2007

Nobel Menampar Kita (Lagi)

Kompas, 16 Oktober 2007


Al Gore dan Panel Antar-pemerintah Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim (IPCC) akhirnya diumumkan sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian tahun ini. Penghargaan ini diberikan untuk “usaha-usaha mereka menyebarluaskan pengetahuan mengenai perubahan iklim yang disebabkan oleh perbuatan manusia serta meletakkan landasan bagi usaha mengatasinya”.

Kontroversi pun merebak. Sebagian kalangan mempertanyakan, apa kaitan antara perubahan iklim atau isu lingkungan dengan perdamaian? Bagi kita di Indonesia, layak pula dipertayakan, apa relevansi hadiah Nobel Perdamaian 2007 itu? Pelajaran apa yang bisa kita ambil?

Dari Hilir ke Hulu

Ada gejala tegas bahwa Komite Nobel Perdamaian makin meluaskan makna “perdamaian”. Tahun lalu, Nobel Perdamaian diberikan untuk Muhammad Yunus dan Grameen Bank untuk “usaha-usaha menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial dari bawah.”

Hadiah Nobel Perdamaian itu pun meresonansikan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, September 2000, yang menyepakati Millennium Development Goals atau Tujuan Pembangunan Millenium (TPM). Tujuan pertama sampai dengan ketujuh menekankan penting dan gentingnya penghapusan kemiskinan, peningkatan derajat kesehatan, perbaikan lingkungan dan akses pada pengetahuan. Sementara tujuan ke delapan menekankan pengembangan kerja sama global untuk pembangunan.

TMP tak hanya menggarisbawahi penting-gentingnya kemiskinan sebagai salah satu persoalan pokok global, tetapi memosisikannya sebagai hulu dari banyak persoalan lain. Dalam konteks ini, dalam pertemuan Regional tingkat Menteri se-Asia Pasifik, Agustus 2005, sang Direktur program PBB ini, ekonom Jeffrey D. Sach, menggarisbawahi: “Tanpa pembangunan global kita tak mungkin mencapai keamanan global …. Tak ada perang melawan teroris tanpa memerangi kemiskinan.”

Di dunia kita hari ini, setiap hari delapan juta orang meninggal karena terlalu miskin untuk bertahan hidup. Sementara 1,1 milyar manusia, atau seperenam penduduk bumi, terpuruk dalam – apa yang disebut Sach dalam The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time (2005) sebagai – ”kemiskinan ekstrim”. Dunia kita sejatinya dipenuhi kemiskinan. Inilah lahan subur bagi konflik, permusuhan dan terorisme. Ladang kering dan tandus bagi perdamaian. Pesan inilah yang diresonansikan Komite Nobel Perdamaian tahun lalu.

Tahun ini, perluasan makna perdamaian menjangkau isu lingkungan hidup, terutama isu pemanasan global. Panel PBB dan Al Gore, sulit dibantah, telah memberi kontribusi penting bagi perluasan sensitivitas umat manusia pada persoalan penting dan genting ini.

Melalui buku dan film peraih Oscar, An Inconvenient Truth, misalnya, Al Gore telah memfasilitasi tumbuhnya kesadaran mondial akan pemanasan global. Pada saat sama, kesadaran umat manusia akan konsekuensi kerusakan lingkungan juga diperkuat oleh merebaknya bencana dan wabah penyakit serta makin tak terduga dan tak bersahabatnya perubahan iklim. Kerusakan lingkungan pun – sebagaimana halnya kemiskinan – makin dipahami sebagai hulu dari banyak persoalan lain, termasuk perdamaian.

Maka, dalam dua tahun terakhir, Komite Nobel sejatinya menunjukkan sebuah perubahan kecenderungan yang radikal. Isu-isu perdamaian tak lagi dilihat pada hilirnya (konflik, perang, negosiasi, détente, perdamaian) melainkan pada hulunya (hal ihwal yang potensial mencederai perdamaian). Komite Nobel tidak lagi berkutat pada “akibat” (hal-hal yang disebabkan) melainkan menelusuri sisi “sebab” (hal-hal yang memfasilitasi atau menyebabkan perdamaian).

Perubahan radikal itulah yang mengantar Muhammad Yunus, Grameen Bank, Al Gore, dan Panel PBB untuk meraih penghargaan presitisius itu. Perubahan pendekatan itu pula yang menyingkirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (untuk peranannya dalam perdamaian Aceh) tahun lalu, dan mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisari (untuk perananannya sebagai mediator atau fasilitator perdamaian di beberapa belahan dunia) tahun lalu dan tahun ini, dari kemungkinan meraih Nobel.

Menampar Kita

Walhasil, dua tahun berturut-turut Indonesia “ditampar” Komite Nobel Perdamaian. Tahun lalu, hadiah untuk Muhammad Yunus dan Grameen Bank diberikan di tengah kegagalan kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan. Tahun ini, hadiah untuk Al Gore dan Panel PBB diberikan di tengah kegagalan kita memprioritaskan isu lingkungan serta menseriusi penyelematannya.

Data Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan mengalami penurunan dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi berturut 18,41 persen, 18,20 persen, dan 17,42 persen dalam tiga tahun berikutnya. Namun, kecenderungan itu mengalami pembalikan dalam dua tahun berikutnya. Pada tahun 2004, tingkat kemiskinan mencapai 16,60 persen, lalu turun ke 15,97 persen tahun lalu dan justru meningkat menjadi 17,75 persen tahun lalu.

Masalah lingkungan hidup setali tiga uang. Reformasi yang telah berjalan satu dekade sejauh ini gagal meyakinkan para pembuat kebijakan untuk memprioritaskan penanganan lingkungan hidup secara lebih saksama. Kurangnya komitmen pemerintah sangat tampak dari minimnya anggaran yang dimobilisasi untuk penanganan lingkungan dan sumber daya alam. Selain itu, belum terlihat adanya program-program penyelematan lingkungan yang berarti. Sebaliknya, selain disemati gelar perusak hutan tercepat di dunia, Indonesia juga menjadi salah satu negara di dunia yang paling abai pada pentingnya konservasi dalam pengelolaan pembangunannya.

Maka, hadiah Nobel Perdamaian dalam dua tahun berturut-turut adalah dua tamparan berurutan bagi kita. Untuk menghindari tamparan-tamparan berikutnya ada baiknya kita menyegerakan dan menegaskan perubahan sebagaimana yang sudah dimulai oleh Komite Nobel Perdamaian.

Kita dituntut bergeser dari kegemaran mengurusi ”akibat” ke ”sebab”. Kita didesak untuk tak sekadar mengatasi soal-soal di hilir tapi menyelesaikan sumber-sumber masalah di hulu. Kita diingatkan untuk tak hanya mengurusi soal-soal permukaan melainkan mengatasi sumber-sumber perkara pada akarnya. Kita didorong untuk tak sekadar mengatasi banyak masalah pada gejala kasat mata atau simptom-simptonnya melainkan pada sumber-sumber panyakitnya.

Dengan cara itulah kita mengambil pelajaran secara konstruktif dari Nobel Perdamaian. Dengan cara itu pula kita menunjukkan diri sebagai ”bangsa yang besar”.

Selasa, 09 Oktober 2007

Tukulisme


Gatra, 3 Oktober 2007


Saya dengar acara “Empat Mata”-nya Tukul Arwana di sebuah stasiun TV sudah tak lagi berkibar-kibar ratingnya. Ia tak lagi menjadi acara yang paling diminati pemirsa TV Indonesia. Posisinya sudah melorot jauh. Tapi, bagaimanapun Tukul telah meninggalkan sesuatu yang sesungguhnya sangat berarti buat kita. Mungkin tanpa kita sendiri menyadarinya.

Tukul dan “Empat Mata”-nya adalah sebuah fenomena. Ia dengan cepat menarik minat pemirsa dalam jumlah luar biasa. Ratingnya – terlepas bahwa kita tak gampang percaya pada validitasnya – bertengger di urutan teratas selama lebih dari satu tahun. Talkshow ini menjadi sajian hiburan bukan saja bagi kalangan masyarakat kebanyakan di warung-warung kopi tetapi juga Ibu Presiden di Istana Negara. Tukul pun menuai popularitas secara saksama dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Tapi, bukan capaian jumlah penonton dan popularitas itu yang sejatinya membikin Tukul fenomenal. Fenomena Tukul terletak pada kesediaan, kemampuan dan kekuatan Tukul untuk menertawakan diri sendiri. Dengan rileks Ia mempertontonkan dirinya secara apa adanya. Lalu, segala hal-ihwal buruk yang melekat pada dirinya dibiarkannya – bahkan didayagunakan -- menjadi bahan sorakan, sindiran dan tertawaan penonton di studio serta pemirsa di depan layar kaca.

Dengan enteng, Tukul mempertontonkan bahasa Inggrisnya yang hancur-hancuran, kemampuan berdialog dengan narasumber yang sangat terbatas, ketidakmengertiannya pada sebagian naskah wawancara yang disiapkan tim “Empat Mata”. Ia seolah berkata secara retoris pada kita, apa salahnya jadi orang bodoh, tak becus bahasa asing, dan punya pemahaman serba terbatas tentang dunia? Tidakkah jujur akan semua kekurangan diri sendiri serta berani memperlihatkannya justru merupakan sesuatu yang amat bernilai?

Dengan serta merta kita pun menerima Tukul dengan tangan terbuka. Kita yang terbiasa bersua dengan para pejabat publik, figur publik dan tokoh-tokoh yang selalu memasang topeng pemanis rupa, merasa bertemu dengan sosok yang sungguh dirindukan alam bawah sadar kita. Pada Tukul kita menemukan kejujuran, kesediaan menampilkan diri apa adanya, dan kemampuan menertawakan diri sendiri. Sebuah cara menampilkan diri yang terasa sehat dan patut.

Itulah Tukulisme itu. Sesuatu yang membikin kita gampang terpikat.

Daya pikat sejenis saya temukan pada Samuel Mulia, penulis rubrik “Parodi” di sebuah koran nasional. Sungguh mudah dan ringan menerima kolom Samuel beserta segenap pesan mulia di dalamnya. Sebabnya sederhana saja: Samuel dengan santai kerap membiarkan dirinya menjadi contoh dari hal-hal buruk yang ditulisnya. Sebaliknya, ia hampir selalu mencari dan menunjuk orang lain sebagai contoh atau ilustrasi tentang kebaikan.

Akibatnya, kolom-kolom etiket dan perilaku Samuel tak pernah terasa menggurui. Ia tak pernah tampil sebagai pengkhotbah yang nyinyir. Kita, para pembacanya, justru seperti bersua dengan kawan bicara rendah hati yang senantiasa riang di tengah segenap kebusukan dan keterbatasan dirinya.

Pada dasarnya, mereka yang secara bersahaja menampilkan diri apa adanya biasanya memang mempesona. Pesona mereka justru bersumber dari absennya kecenderungan untuk tebar pesona. Daya pesona mereka terletak pada kerelaan menampilkan diri apa adanya. Mereka pun tak terasa sebagai makhluk asing di sekitar kita. Mereka hadir sebagai bagian dari keseharian kita yang centang perenang. Mereka menjadi manusia biasa dengan segenap keunggulan dan kebobrokannya.

Celakanya, agak jarang menemukan politisi dan pejabat publik penganut Tukulisme. Umumnya politisi dan pejabat publik kita berusaha menampilkan dirinya dalam balutan kesempurnaan – sesuatu yang sesungguhnya hanya fatamorgana. Mereka mematut diri habis-habisan. Seolah-olah, di bawah tampilan penuh kesempurnaan itu lah publik dan calon pemilih akan bertekuk lutut lalu mendukung mereka.

Saya tak percaya teori tekuk lutut semacam itu. Politisi dan pejabat publik justru terlihat berkilau penuh nilai menakala rela menampilkan diri apa adanya, jujur mengakui segenap kelemahannya, dan menghormati hak setiap orang untuk mengeritik dan mengingatkannya. Politisi dan pejabat publik terbaik bagi saya adalah mereka yang tampil bak manusia biasa, layaknya tetangga sebelah rumah.

Pada pejabat semacam itu, kita tak berharap menemukan pengetahuan yang unggul serta retorika yang canggih. Di atas segalanya, kita bisa berharap bahwa mereka penuh empati. Merekalah para pejabat bernilai dan langka. Selama nyaris satu dekade reformasi, kita kelebihan pejabat banyak tahu dan canggih beretorika. Pada saat sama, kita mengalami defisit pejabat berempati.

Maka, ada baiknya Tukul tak sekadar kita jadikan tontonan dan bahan hiburan. Di atas segalanya, Ia sesungguhnya sebuah tempat belajar yang bersahaja.

[Sumber foto: Suara Merdeka]

Podium Presiden

Semua Presiden (modern) memiliki ”tim pembabak jalan” atau ”tim pendahulu”. Aggotanya dalam bahasa Inggris biasa dinamai ”advance man”, ”advance agent” atau ”advance person”. Inilah tim yang datang lebih awal ke tempat yang akan dikunjungi Presiden.

Tugas tim ini amat beragam: mencoba rute perjalanan darat atau air, mengurus transportasi, menggarap sambutan masyarakat dan media setempat, mengurusi hal ihwal protokoler dan agenda kegiatan, bertemu dengan pejabat setempat, dan lain-lain. Tim ini bertugas memastikan bahwa segala rencana akan berjalan baik.

Cakupan dan tingkat kerumitan tugas mereka bergantung pada perkembangan zaman. Ketika segala hal masih serba bersahaja, tim pembabak jalan Presiden Sukarno dulu, amatlah bersahaja pula. Mengutip assistant press officer Sukarno (1958-1962), Didiet S. Soerjotjokro Malakiano, tim ini biasanya bertugas membawa microphone, pengeras suara, tape recorder, mengkoordinasikan pengamanan dengan panglima tentara, kepala polisi, pejabat intelejen dan pimpinan daerah, serta mengatur protokoler termasuk menyediakan mobil dan penginapan.

Kadang-kadang, tim pendahulu melakukan pekerjaan yang tak terbayangkan oleh orang awam. Untuk menghadiri Konvensi Partai Republik 1956, di San Francisco, misalnya, Dwight D. Eisenhower, mengirim seorang anggota tim pendahulu yang bertugas mengecek dan memastikan suhu dan kondisi udara setempat. Sang anggota Tim, Tom Stephens, yang memang ahli di bidang itu, mengatur supaya Eisenhower bisa berpenampilan yang sesuai dengan suhu udara setempat.

Pada tahun 2002, mantan Presiden AS Bill Clinton berkunjung ke Achen, Jerman. Sebuah tim pembabak jalan pun dikirim ke sana yang antara lain, untuk tujuan pengamanan, bertugas memeriksa semua lubang pembuangan air di setiap tempat yang akan dilalui dan dikunjungi Clinton. Mereka lalu menyegel lubang-lubang itu dengan tanda keamanan pemerintah AS. Jauh selepas kunjungan Clinton, kita pun masih bisa dengan mudah melihat segel-segel melekat di banyak tempat, nyaris di seantero kota.

Podium Istana

Tapi, rasanya tak ada yang seunik tim pembabak jalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dikisahkan Kompas (10/10/2006). Presiden Yudhoyono ternyata punya tim pendahulu, yakni staf bidang peralatan, yang bertugas membawa podium istana ke mana pun Presiden berkunjung di seluruh pelosok negeri.

Kantor Presiden Yudhoyono, menurut Kompas, punya sepuluh buah podium dengan burung Garuda tercetak di atasnya, yang dipesan dari Jawa Timur. Para podium yang terhormat ini ditempatkan di sejumlah istana atau tempat peristirahat resmi Presiden di beberapa kota. Di Jakarta sendiri, tersedia empat podium hitam kira-kira setinggi bahu itu. Satu di Istana Negara, satu di Kantor Presiden dan dua sisanya untuk dibawa-bawa oleh sekitar enam orang anggota tim pendahulu ke mana pun Presiden pergi.

Tentu saja, membawa-bawa podium seberat 40 kilogram, terbuat dari kayu jati itu, tidaklah selalu mudah. Untuk acara panen raya di Dadahup, Kapuas, Kalimantan Tengah, beberapa waktu lalu, misalnya, podium itu mesti dibawa lewat darat, menempuh empat jam perjalanan dari Palangkaraya. Kesulitan bertambah manakala sang podium mesti diangkut ke daerah-daerah yang sulit transportasi semacam Yakuhimo, Papua. Kadang-kadang, tak hanya satu podium yang mesti dibawa karena Presiden dijadwalkan berpidato di beberapa tempat dalam waktu berdekatan.

Tafsir Positif dan Negatif

Perjalanan sang podium pun sangat berliku dan kaya pengalaman sehingga sebetulnya sungguh layak dijadikan tema cerita sinetron atau film layar lebar. Latar atau lanskap ceritanya, tentu saja, demokratisasi Indonesia.

Dalam kaitan dengan latar atau lanskap inilah sejumlah tafsir atas fenomena Presiden dan podiumnya itu bisa disusun. Ketika kehidupan kita makin demokratis, komunikasi memainkan peran yang makin penting. Podium adalah salah satu perangkatnya. Di sini, komunikasi bukan saja berfungsi saling menukar pesan, tapi juga sebagai arena pembentukan citra. Podium itu mungkin dipandang membantu komunikasi dan pencitraan.

Sang podium mungkin pula diperlukan untuk membentuk dan menjaga kewibawaan Presiden dan lembaga kepresidenan. Sekalipun didera hidup yang makin susah, masyarakat setidaknya bakal terdongkrak kebanggaannya oleh kewibawaan kepala negara (dan podiumnya). Bukankah lebih baik hidup susah dengan kebanggaan ketimbang tanpa kebanggaan?

Sang podium pun mungkin merupakan bagian dari paket penampilan kepala negara untuk mencitrakan jabatan tingginya. Penampilan memang bukan segalanya, tapi menjaga penampilan tentu saja penting adanya. Bukankah Presiden yang pandai menjaga penampilan lebih baik ketimbang yang semrawut?

Sang podium mungkin juga menjadi semacam tugu perbatasan di antara yang berbicara dan yang mendengar sambil menegaskan perbedaan posisi keduanya. Di sini, podium menjadi pembangun formalitas. Kehadirannya memastikan resminya kehadiran dan pembicaraan Presiden serta respon dari khalayak atasnya.

Maka, podium itu menjadi penanda tengah berlangsungnya upacara, seremoni dengan tata cara protokoler saksama. Dengan podiumnya, Presiden seolah memimpin upacara dari sebuah singasana. Walhasil, podium hitam sebahu itu bukanlah sekadar kayu jati. Ia adalah penegas bahwa Presiden sadar akan pentingnya menjadi ”Presiden yang presidensial”. Boleh jadi, penegasan soal ini diperlukan saat ini di tengah adanya Presiden dan Republik tiruan dalam beberapa tayangan televisi.

Itulah daftar panjang tafsir positif yang bisa kita buat atas hubungan Presiden dan podiumnya. Intinya, kehadiran sang podium sangat boleh jadi menandai hadirnya Presiden yang sadar konteks, latar, lanskap dan zaman. Tapi, celakanya, dalam matematika politik, pertemuan aspek-aspek positif secara berlebihan justru cenderung menghasilkan pengurangan, menjadi negatif.

Sebagai perlengkapan komunikasi politik, podium itu justru bisa menjadi simbolisasi komunikasi politik satu arah, bukan dua atau banyak arah. Bukankah jika hendak berkomunikasi dengan petani secara dua arah, podium tak diperlukan? Bukankah tikar di atas dangau (buatan) lebih menyatukan Presiden dengan para petani? Bukankah komunikasi tanpa podium justru menghilangkan jarak di antara Presiden dan khalayak?

Kehadiran sang podium di mana saja Presiden berpidato juga potensial menenggelamkan kelenturan politik Presiden di balik kekakuan. Informalitas potensial dibunuh oleh formalitas yang tak perlu. Dan jangan lupa, menjadi formal tak sama maknanya dengan menjadi ’presidensial’.

Yang berbahaya adalah bila di balik kewajiban membawa podium dari Jakarta ke daerah-daerah itu tersembunyi alam bawah sadar kita yang pro sentralisasi. Podium-podium lokal yang beragam tergeser oleh sang podium hitam kayu jati sebahu itu. Jika kecenderungan bawah sadar itu memang ada, fenomena podium ini pun, dalam batas-batas tertentu, bisa mencederai kearifan lokal. Bukankah keragaman podium – sebagaimana keragaman arsitektur rumah, kesenian dan kebudayaan, atau alam pikiran lokal – justru mempercantik Indonesia, memperindah kita?

Bagaimanapun, dilihat dari sisi pemasaran politik (political marketing), kewajiban mengangkut podium ke mana-mana merupakan bentuk pemasaran yang mementingkan bungkus ketimbang isi. Pemasaran politik yang salah kaprah. Sebuah bahaya pun mengancam dari baliknya: cara dan simbol lebih dipentingkan ketimbang tujuan dan substansi komunikasi.

Akhirnya, sangat boleh jadi, Presiden dan orang-orang istana memandang analisis ini sebagai berlebihan. Tak apa-apa. Sebab, menurut akal sehat saya, membawa-bawa podium dan menugaskan enam orang untuk urusan itu ke mana pun Presiden pergi, adalah sungguh jauh lebih berlebihan.

Saya tahu, sangat boleh jadi kewajiban membawa podium itu dilandasi niat baik. Tapi, menurut hemat saya, niat yang baik selayaknya tak mencederai akal sehat dan kepatutan. [***]

Amandemen Cicilan dan Swalayan

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat ini tengah menggalangan dukungan bagi amandemen kelima UUD 1945 yang berisi penguatan posisi dan fungsi politik DPD sehingga menjadi bagian dari legislatif yang kuat. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah menyatakan dukungannya. Sementara, tiga partai besar, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Demokrat, cenderung menentangnya.

Bagaimanakah selayaknya kita memahami dan memosisikan tuntutan ini? Perlukah DPD diperkuat? Layakkah amandemen kelima dilakukan untuk tujuan ini?

Keberadaan DPD – yang berfungsi selepas Pemilu 2004 – merupakan salah satu hasil dari empat kali emandemen terhadap UUD 1945 selama masa reformasi. Kehadirannya menandai sebuah periode baru politik Indonesia yang ditandai antara lain oleh ”kehendak” untuk mempraktikkan bikameralisme, sebuah sistem perwakilan politik yang terjadi dari dua majelis. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memainkan fungsi semacam house of representative atau majelis rendah, sementara DPD ”berkehendak” menjalankan fungsi semacam senate atau majelis tinggi.

Kehendak? Ya, bikameralisme di Indonesia sejauh ini baru sebatas kehendak, belum menjadi praktik politik sesungguhnya. Sebagaimana dipraktikkan dalam umumnya lembaga senate, DPD semestinya berfungsi dalam tiga arena politik sekaligus: pusat (atau federal dalam konsep federalisme), daerah (atau negara bagian), dan hubungan pudat-daerah (federal-negara bagian). Dengan menjalankan fungsi di tiga arena politik itulah lembaga senat menjadi bagian dari lembaga legislatif yang kuat. Bersama-sama house of representative, senate pun membentuk bikameralisme.

Tapi, dalam praktik politik Indonesia saat ini, DPD tidak memiliki kekuatan untuk bermain dalam tiga arena itu. DPD hanya berfungsi di seputar persoalan-persoalan pusat-daerah dan sangat kecil kekuatannya untuk berperan di dua arena sisanya. Cakupan kewenangan DPD pun dalam praktiknya masih jauh lebih kecil dari cakupan kewenangan yang biasa dimiliki lembaga senate. Karena itu, yang dimiliki Indonesia saat ini bukanlah “sistem dua kamar” atau bikameralisme melainkan ”sistem satu sepertiga kamar” saja.

Dilihat dari kebutuhan penguatan demokrasi, sistem satu sepertiga kamar jelas tak memadai. Kita membutuhkan sistem dua kamar yang di dalamnya DPD memfungsikan dirinya sebagai lembaga yang mewakili daerah di arena politik pusat, daerah dan hubungan pusat-daerah. DPD pun tak hanya menjadi ”pendamping” DPR, melainkan menjadi satu bagian penting dari mekanisme perwakilan politik dua kamar. DPR dalam fungsi perwakilan politik berbasis partai, DPD memainkan peran perwakilan daerah dengan basis non-partisan.

Dilihat dari kebutuhan itu, penguatan DPD bukan hanya menjadi sebuah kebutuhan melainkan juga keniscayaan. Dan cara terbaik untuk menguatkan DPD, menurut hemat saya, bukanlah melalui UU apalagi produk hukum dan politik di bawah UU. Cara yang terlayak dan terbaik untuk itu adalah amandemen terhadap UUD 1945.

Tetapi, amandemen UUD 1945 yang hendak dilakukan selayaknya menimbang kekeliruan-kekeliruan cara dan substansi empat amandemen yang sudah dilakukan sebelum ini. Selama ini, amandemen dilakukan dengan cara – meminjam istilah komentator politik ternama, Wimar Witoelar – “cicilan dan swalayan”.

Amandemen dilakukan secara tambal sulam, menyesuaikan diri dengan kebutuhan jangka pendek yang dimiliki partai politik dan politisi yang berperan waktu itu. Akibatnya, amandemen dilakukan sebagai semacam cicilan pemenuhan kebutuhan politik sambil mempersilakan lepada kekuatan-kekuatan politik yang berperan untuk melayani kebutuhan mereka sendiri. Yang kemudian hilang dari proses seperti ini adalah grand design tata kelola negara serta filosofi-filosofi pendukungnya.

Dalam kerangka itu, filosofi demokrasi Indonesia pun harus terlebih dahulu dirumuskan. Lalu, perumusan desian ulang institusi-institusi politik dilakukan dengan meletakkannya sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan-tujuan berdemokrasi (kebebasan, keadilan, akuntabilitas, keterwakilan, dan penegakan mandat). Untuk tujuan ini, tipe kekuasaan eksekutif (presidensialisme atau parlementarisme atau semi-presidensialisme) dipilih secara tegas. Di dalamnya, lembaga legislatif dalam kerangka bikameralisme diposisikan dan difungsikan secara layak.

Tentu saja kita selayaknya tetap mengapresiasi upaya empat amandemen yang telah dilakukan. Setidaknya, setelah diamandemen, UUD 1945 telah menjadi naskah yang lebih sejalan dengan kebutuhan demokratisasi. Karena itu, dilihat dari perspektif demokrasi, upaya-upaya kembali ke naskah asli UUD 1945 adalah tak masuk akal dan tak layak didukung.

Tapi harus diakui bahwa empat amandemen yang dilakukan secara cicilan, swalayan, dan tanpa grand design itu telah menyisakan persoalan sistemik yang serius bagi Indonesia. Dalam hampir tiga tahun selepas Pemilu 2004, kita merasakan persoalan-persoalan sistemik itu beserta implikasinya yang luas pada efektivitas kerja pemerintahan dan lembaga-lembaga negara yang lain.

Rumitnya segitiga hubungan Presiden-Wakil Presiden-Partai pendukung pemerintah, misalnya, berkait dengan persoalan sistemik itu. Begitu pula halnya kerumitan dalam hubungan di antara partai-partai dengan pemerintahan secara luas. Ketiadaan kekuasaan dan keterbatasan fungsi DPD adalah contoh lain persoalan sistemik itu.

Karena itu, sekali lagi, saya setuju DPD diperkuat. Tetapi, saya tak sepaham bila penguatannya dilakukan melalui cara amandemen kelima yang bersifat cicilan dan swalayan seperti yang sekarang sedang digulirkan. Jika cara yang keliru ini dilanjutkan, DPD mungkin akan lebih kuat tetapi kerumitan dan kerancuan sistemik dalam tata negara kita tak terselesaikan bahkan dipertahankan dan diperumit.

Selain itu, cara amandemen berbasis tuntutan DPD ini bisa menjadi preseden politik yang buruk. Bagaimana jika lembaga-lembaga politik atau negara yang lain ingin memperkuat diri dan menjalankan mekanisme tuntutan amandemen serupa? Bukankah sifat cicilan dan swalayan dari amandemen konstitusi kita justru makin dikuatkan?

Ada baiknya, DPD dan pihak-pihak pengusung tuntutan amandemen kelima mempertimbangkan kebutuhan untuk menyusun grand design tata kelola negara dulu. Lalu, meletakkan kelangsungan reformasi konstitusi kita sebagai upaya komprehensif untuk memperbaiki sistem politik kita. Dengan begitu, peranan DPD akan ditulis dengan tinta emas dalam sejarah demokrasi Indonesia. DPD tak akan dikenang sekadar sebagai lembaga pencicil amandemen untuk melayani kepentingan dirinya.

Kemitraan Yudhoyono-Kalla

Salah satu isu yang selalu populer dalam diskusi-diskusi politik di Indonesia adalah dinamika hubungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Akankah mereka sanggup memelihara hubungan kemitraan yang saling isi dan saling sokong? Akankah mereka terus berhubungan secara baik hingga akhir termin pemerintahan mereka? Akankah mereka terpecah dan berkonflik ketika Pemilu 2009 makin dekat? Akankah duet mereka terus menguat atau justru berkembang menjadi duel?

Ada banyak cara menjawabnya. Salah satunya adalah dengan mengingat salah satu adegan kecil dan terabaikan dalam kunjungan Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush, ke Indonesia akhir tahun lalu.

Di tengah kunjungan Bush itu, Ibu Negara Laura Bush memberikan bantuan buku-buku untuk perpustakaan anak-anak yang dikelola Ibu Negara Indonesia, Ani Yudhoyono. Dari potret yang dimuat The Point, kita tahu bahwa penyerahan bantuan itu dilakukan secara simbolik dengan penyerahan buku Peggy Rathmann, Officer Buckle and Gloria (1995), dari Laura Bush kepada Ani Yudhoyono.

Pilihan atas buku ini tentu saja masuk akal. Setahun setelah diterbitkan penerbit Putnam, buku ini meraih The Caldecott Medal, penghargaan paling bergengsi untuk buku anak-anak bergambar. Sejumlah besar penghargaan dan apresiasi lain juga diterima buku ini: ALA Notable Children's Book, Ohio Teachers' & Pupils' Reading Circle 1996-97 selection, American Bookseller "Pick of the Lists", Book Links "A Few Good Books of 1995”, Booklist "Editors' Choice '95", Child Magazine "Best Books of 1995", Horn Book Fanfare selection, Parenting Magazine "Best Books of 1995", School Library Journal "Best Books of 1995", dan New York Public Library 1995 Children's Books: "100 Titles for Reading & Sharing".

Tapi, yang menarik adalah koinsidensi di antara isi buku ini dengan situasi yang dihadapi kepemimpinan politik Indonesia. Cerita di buku itu dengan mudah mengingatkan kita pada dinamika hubungan Yudhoyono-Kalla.

Sebagaimana tergambar dalam judulnya, buku ini bercerita tentang seorang polisi, Officer Buckle, dan seekor anjing yang menjadi mitra kerjanya, Gloria. Bermitra dengan Gloria semestinya membuat Officer Buckle lebih terbantu dan aman. Bukankah untuk itulah seorang mitra kerja hadir di samping kita?

Tapi, cerita tentang hubungan keduanya agak berbeda. Gloria senang berimprovisasi dengan trik-trik baru yang justru membahayakan dan merepotkan partnernya. Officer Buckle pun seringkali justru lebih terancam karena trik-trik Gloria, dan bukan sebaliknya. Maka, bagi Officer Buckle, Gloria adalah mitra yang diperlukan tapi sekaligus mengancam.

Alih-alih nyaman, Officer Buckle justru merasa tak aman bermitra kerja dengan Gloria. Maka terbangunlah dilema dalam hubungan mereka: dilema keamanan versus persahabatan. Buku ini, seperti mudah diduga, akhirnya menempatkan persahabatan lebih penting dari keamanan. Dengan segala dinamikanya, hubungan mereka terus berjalan atas nama persahabatan. Soal keamanan memang tak selesai, tapi mereka mengelolanya sebagai sebuah ancaman yang tak merusak hubungan persahabatan di antara mereka.

Tentu saja, Yudhoyono-Kalla tak bisa dianalogikan secara harfiah dengan polisi dan mitranya dalam cerita Officer Buckle and Gloria. Tetapi, secara substansi, begitulah kurang lebih suasana hubungan Yudhoyono-Kalla. Atas nama ”persahabatan” yang mengalahkan ”keamanan”, hubungan Yudhoyono-Kalla akan terjaga hingga akhir termin pertama mereka, 2009.

Kalla memang bukan Wapres biasa. Posisi politiknya yang kuat membuatnya menjadi mitra Presiden yang kuat dan potensial. Namun demikian, kesigapan geraknya, keberanian langkah-langkahnya, keberaniannya mengambil resiko dan langkah-langkahnya yang spontan, spekulatif dan kurang hati-hati terbukti berpotensi mendatangkan kerepotan bagi Yudhoyono. Alih-alih kenyamanan dan keamanan, Yudhoyono pun bisa terancam oleh situasi sebaliknya.

Cerita berkembang lebih dinamis ketika Pemilu 2009 mendekat kelak. Keduanya akan kembali ke haribaan partai politik masing-masing. Perbedaan, ketegangan dan konflik pun potensial terbangun di antara keduanya. Namun demikian, kebutuhan untuk tetap bersahabat dan membuktikan bahwa pemerintahan yang mereka pimpin bekerja baik dan sukses, membuat keduanya tak akan mengalami perpecahan dramatis. Siapapun tak bisa berharap bahwa keduanya akan menjadi anjing dan kucing seperti yang pernah terjadi di antara Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Sukarno Putri (1999-2001). Selebihnya, tentu hanya waktu yang bisa menjawab.

Tapi jangan lupa. Dinamika kemitraan Yudhoyono-Kalla tak hanya dibentuk dan dipengaruhi oleh mereka berdua. Terlibat pula faktor-faktor di luar mereka. Terlibat pula aktor-aktor secara luas, yakni para politisi dan partai politik yang berkiprah di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Pada titik ini, kita berpindah dari buku Officer Buckle and Gloria ke buku anak-anak lain, Annie and the Wild Animals. (Boleh jadi buku ini pun termasuk salah satu buku yang disumbangkan Laura Bush untuk Indonesia.)

Annie and the Wild Animals adalah sebuah buku bergambar (picture book) yang ditulis Jan Brett dan diterbitkan Houghton Mifflin pada 1985. Buku ini bercerita tentang pertemanan manis antara seorang gadis bernama Annie, dengan binatang-binatang lapar di sebuah hutan musim dingin. Annie punya kebiasaan membagi kue jagung lezat miliknya ke sejumlah binatang.

Tapi, makin lama makin banyak binatang lapar yang menuntut ikut memperoleh kue Annie. Ketersediaan kue dan jumlah binatang yang menginginkannya menjadi makin tak seimbang. Keadaan pun tak terkendali. Persahabatan Annie dan binatang-binatang itu pun mesti berkutat dengan persoalan bagaimana memuaskan para binatang yang sama-sama menginginkan kue jagung Annie.

Yudhoyono-Kalla kurang lebih menghadapi situasi serupa Annie. Pemerintah mau tak mau mesti menggalang dukungan politik dari partai dan lembaga legislatif. Jika tidak, pemerintah akan sulit meloloskan kebijakan-kebijakan yang mereka buat. Mereka mesti pandai mengelola ”politik insentif” berhadapan dengan tuntutan politisi dan partai. Jika tidak, para politisi dan partai yang terkecewakan bisa saja menjadi meriam liar yang sulit dikendalikan pemerintah.

Memburuk atau membaiknya dinamika hubungan Yudhoyono-Kalla pun terbangun di tengah konfigurasi politik yang khas hasil Pemilu 2004. Pertama-tama, Presiden dan Wapres harus membentuk formula hubungan yang memungkinkan mereka saling tahu diri dan saling jaga. Mereka mesti mengelola titik temu dan titik pecah di antara mereka secara layak sehingga tak merusak fondasi politik terpenting yang mengikat mereka hingga 2009. Pada saat yang sama, hubungan pragmatis dengan para politisi dan partai-partai harus terus terjaga. Sementara itu, kredibilitas kebijakan harus tetap terpelihara dan kepentingan publik terakomodasi.

Semua itu mudah diucapkan tapi sungguh sulit dipraktikkan. Ada baiknya, untuk menemukan inspirasi tentang jalan keluar yang manis, Yudhoyono, Kalla dan para politisi kita membaca kembali Officer Buckle and Gloria dan Annie and The Wild Animals atau buku anak-anak lainnya. Pelajaran kadang kala kita temukan secara mengejutkan di tempat yang tak lazim.

Melawan Gerontokrasi

Sebelas tahun lalu, Michael Bruce Sterling (53), penulis Amerika yang beristrikan penulis dan sutradara film Serbia, Jasmina Tesanovic, menulis Holy Fire. Inilah sebuah novel yang bercerita tentang kemajuan teknologi dan obat-obatan yang mampu membuat angka harapan hidup manusia meningkat menjadi dua abad.

Yang terjadi kemudian, tulis Sterling, adalah “gerontocracy”. Masyarakat dikendalikan oleh orang-orang berumur, orang-orang tua. Kekuasaan politik dan modal dikuasai dan dikendalikan di tangan mereka. Akses orang-orang muda pada kekuasaan dan kesejahteraan dibatasi, bahkan ditutup. Digambarkan juga betapa para seniman muda mengalami marjinalisasi, peminggiran dalam masyarakatnya.

Kamus-kamus ilmu sosial standar memang memaknai “gerontoctacy” (ger·on·toc·ra·cy/ jĕr'ən-tŏk'rə-sē) sebagai masyarakat yang dikendalian oleh orang-orang berumur. Dalam pengertiannya lebih sempit, gerontocracy juga bisa berarti “pemerintahan yang kekuasaannya berpusat pada dan dikendalikan oleh orang-orang tua”. Pelaku sistem penguasaan semacam itu kita sebut sebagai “gerontocrac” (ge·ron'to·crat'/ jə-rŏn'tə-krăt'). Sementara karakteristik yang dibentuk dan menyipatinya kita sebut “gerontocratic” (ge·ron'to·crat'ic).

Gerontocracy adalah sebuah relasi sosial. Ia terbangun ketika pengendalian oleh orang-orang berumur bekerja dalam sebuah struktur yang menghadapkannya dengan orang-orang muda yang dikendalikan. Maka dalam gerontocracy, orang tua adalah subjek sementara orang muda adalah objek. Yang pertama adalah penikmat sementara yang terakhir adalah korban.

Gerontocracy diidap banyak masyarakat, banyak komunitas, banyak organisasi. Sudah sangat lama kita mengenal The International Olympic Committee (IOC) sebagai tempat kumpulan orang tua yang berkuasa atas rezim olahraga internasional. Sebagian orang juga memahami Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dalam persepsi serupa itu.

Bahkan organisasi ”kepemudan” di Indonesia kerapkali tak bisa lepas dari gerontocracy. Alih-alih memberi kesempatan kepada kalangan yang lebih muda dan segar, banyak organisasi kepemudaan yang membiarkan dirinya dikendalikan oleh pemuda dengan usia berkepala empat. Kesempatan kepemimpinan lebih dibuka bagi pemuda-senja bukan pemuda-pagi-hari.

Gerontocracy juga kita temukan dalam institusi-institusi keagamaan. College of Cardinals yang memiliki peran penting dalam struktur kekuasaan Vatikan, misalnya, terkenal sebagai sebuah kepemimpinan kolektif para kardinal yang sudah berumur. Umumnya pesantren di Indonesia adalah model terbaik gerontocracy karena model kendalinya terpusat pada tangan kyai-kyai yang sepuh.

Litearatur ilmu politik bahkan cenderung mengaitkan gerontocracy dengan teokrasi, sistem politik berbasis otoritas agama atau pemimpin agama, selain dengan feodalisme. Banyak orang percaya bahwa jika saja Imam Khomeini masih hidup sangat boleh jadi ia tetap memimpin Iran. Dalam konteks Iran, kemenangan Mahmood Ahmadinejad, seorang muda, dalam pemilihan Presiden terakhir, dalam batas tertentu, adalah kekalahan gerontocracy.

Tentu saja kita bisa menemukan dengan mudah contoh-contoh gerontocracy di dunia politik. Model gerontocracy yang sangat terkenal adalah praktik kekuasaan komunisme di Uni Soviet, Eropa Timur dan Tengah, serta Cina selama paruh kedua abad ke-20 lalu. Dalam konteks genre sistem politik ini, dikenal semacam anekdot: “Manakala organ kekuasaan terpenting partai mengadakan pertemuan, maka yang terjadi sejatinya adalah mereka yang berusia 80-an mengadakan pertemuan partai dengan mengundang para pemimpin partai berusia 70-an untuk memutuskan para pemimpin berusia 60-an mana yang mesti dipensiunkan.”

Bagaimana halnya politik Indonesia? Setelah menjalani reformasi lebih dari delapan tahun, banyak kemajuan yang kita capai. Secara prosedural, misalnya, demokrasi berkembang dengan cepat. Setidaknya, Indonesia saat ini memiliki sistem pers yang bebas dan sistem multi-partai. Kita juga menjalankan pemilu legislatif dan pemilihan langsung Presiden-Wakil Presiden-Gubernur-Bupati-Walikota secara demokratis. Lembaga legislatif di pusat dan daerah saat ini memiliki kekuasaan besar. Kita juga memiliki pemerintahan hasil pemilu, lembaga yudikatif dengan formatnya yang baru hasil empat amandemen UUD 1945, dan sistem checks and balances.

Tapi, harus diakui bahwa kemajuan substantif demokrasi tak secepat dan mengesankan kemajuan-kemajuan prosedural itu. Mandat dan keterwakilan politik masih belum bisa ditegakkan secara layak. Penyelewengan kekuasaan dan korupsi masih terjadi di berbagai level pemerintahan. Civil society belum tumbuh kuat sepenuhnya. Kelas menengah belum memiliki posisi dan peran politik yang menentukan. Akuntabilitas publik belum terjamin melalui mekanisme yang melembaga. Demokrasi belum berhasil membuktikan keampuhannya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks itu, salah satu agenda yang belum dituntaskan hingga saat ini adalah perlawanan atas gerontocracy. Secara umum, politik Indonesia masih dikuasai oleh apa yang bisa kita sebut ”generasi pertama politisi reformasi”. Inilah generasi yang menerima tongkat estafet dari Orde Baru dan kemudian mengelola era baru demokratis. Usia mereka sekarang 50 tahun ke atas. Sebagian besar dari mereka bahkan terlibat dalam politik Orde Baru melalui partai (Golkar, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia), lembaga legislatif, dalam pemerintahan pusat di bawah Soeharto, atau dalam politik lokal.

Gerontocracy juga melanda kehidupan partai politik secara sangat tegas. Umumnya partai politik dikuasai oleh politisi tua. Tak hanya itu, partai juga kerapkali dikendalikan secara personal sehingga anasir-anasir partai seolah-olah menjadi milik dari sang ketua umum. Gerontocracy dan personalisasi ini kemudian memfasilitasi oligarki partai, yakni terbangunnya kekuasaan partai yang proses dan hasilnya dikendalikan oleh segelintir kecil elite partai.

Benar bahwa reformasi memfasilitasi lahirnya politisi generasi kedua yang berusia lebih muda dari mereka. Namun, pos-pos politik paling strategis tetap hampir sepenuhnya dikuasai generasi pertama itu. Celakanya sebagian kecil kalangan muda yang memperoleh kesempatan untuk mengendalikan pos-pos politik penting justru mencontek pikiran, perilaku dan ketrampilan kalangan tua. Partai-partai yang dikendalikan kalangan muda, misalnya, tetap saja menunjukkan ”perilaku politik yang tua”, yang konvensional.

Maka, dalam konteks Indonesia, gerontocracy pun memperoleh pemaknaan baru. Maknanya meluas meliputi (1) penguasaan oleh orang-orang tua, (2) penguasan oleh mereka yang berpikir dan berperilaku seperti orang-orang tua, dan (3) penguasaan oleh mereka yang bekerja di bawah perlindungan dan pengamanan politik dan ekonomi kalangan tua.

Gerontocracy yang meluas ini membawa serta sejumlah bahaya. Politik – diam-diam atau terang-terangan – kerapkali bekerja untuk menumpulkan kesadaran orang-orang muda, menumpas kekuatan orang-orang muda dan menutup kesempatan bagi orang-orang muda. Politik pun kerapkali bekerja dengan terlalu banyak menengok ke masa lalu, dan memandang masa depan secara kabur. Akibatnya, kita gampang terjebak ke lubang yang sama berkali-kali.

Maka, tak terelakkan, salah satu agenda demokratisasi Indonesia yang penting adalah melawan gerontocracy. Sayangnya, banyak orang mengabaikan agenda ini.

Kohabitasi a la Indonesia

Dalam penggunaan sehari-hari “cohabitation” berarti menjalani hidup bersama sebelum atau tanpa nikah. Ketika diadopsi oleh kamus Ilmu Politik, istilah ini memperoleh pemaknaan yang berbeda. Cohabitation biasa digunakan untuk menggambarkan sebuah keadaan dalam semi-presendialisme (seperti yang dipraktikkan Perancis dan Finlandia) ketika Presiden dan Perdana Menteri berasal dari dua partai yang berbeda.

Karena orientasi dan terkadang ideologi partai keduanya berbeda, maka kepala negara dan kepala pemerintahan mesti saling menyesuaikan diri untuk bisa saling sokong. Tak jarang, dalam isu-isu tertentu, keduanya berbeda, bersitegang dan berkonflik. Cohabitation pun menjadi tantangan sekaligus bahaya.

Berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen, Indonesia cenderung pada presidensialisme. Sekalipun demikian, sesungguhnya tak terlalu tegas tipe eksekutif mana yang sejatinya dipraktikkan. Sekalipun pemerintah tak bergantung pada parlemen, Indonesia tidak mempraktikkan presidensialisme murni karena legislatif sangat berkuasa. Sebaliknya, sekalipun perlemen begitu berkuasa, Indonesia jelas tak mempraktikkan parlementarianisme.

Yang sudah jelas, Indonesia tak mempraktikkan semi-presidensialisme. Namun demikian, politik Indonesia ternyata tak terbebas dari bahaya cohabitation. Pemilu Presiden langsung 2004 telah memfasilitasi terbangunnya the Indonesian “cohabitation”.

Institutional arrangement yang disepakati melalui Paket UU Politik telah mendorong koalisi antarpartai (baik formal maupun informal) dalam Pemilu Presiden 2004. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Muhammad Jusuf Kalla adalah produk dari koalisi semacam ini.

Pemerintahan Yudhoyono-Kalla pun terbangun di tengah komposisi politik yang khas. Sebagai kandidat keduanya disokong oleh koalisi empat partai: Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangsaan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan kemudian Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Setelah memenangi Pemilu dan membentuk Kabinet Indonesia Bersatu, koalisi membesar dengan melibatkan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bintang Reformasi (PBR), dan Partai Pelopor. Keberhasilan Kalla merebut kursi Ketua Umum Golkar di awal 2005, memperkuat koalisi ini.

Pemerintah pun punya kaki yang besar dan kuat dalam lembaga legislatif. Kesepuluh partai yang terwakili dalam Kabinet menguasai 420 (76,4 persen) kursi DPR. Sementara Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) dan lima partai kecil lain, yang berada di luar pemerintahan, hanya menguasai 130 (23,6 persen) kursi DPR.

Kebijakan dan langkah pemerintah pun teramankan oleh koalisi besar dalam legislatif. Tapi, ini hanya setengah penyelesaian persoalan. Setengah persoalan lainnya adalah “kohabitasi dalam kepemimpinan eksekutif”. Presiden dan Wakil Presiden berasal dari dua partai yang berbeda, yakni Partai Demokrat (56 atau 10,2 persen kursi DPR) dan Partai Golkar (127 atau 23,1 persen).

Konstitusi sesungguhnya tak memosisikan Wapres sebagai entitas atau institusi yang terpisah dengan Presiden. Pasal 4 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen bahkan menyebut Wakil Presiden sebagai pembantu Presiden. Tetapi, dalam praktik politik, Wapres Kalla memiliki dua modal politik untuk tak begitu saja melebur ke dalam atau terbawahi oleh lembaga kepresidenan.

Pertama, Wapres Kalla dipilih secara langsung sebagai satu paket pilihan dengan Presiden Yudhoyono. Wapres dan Presiden pun punya bobot politik yang kurang lebih setara. Setidaknya, Wapres (dan pendukungnya) memiliki argumen generik, “Jika tanpa Kalla, siapa yang bisa menjamin Yudhoyono akan mendulang nyaris 62 persen suara pemilih?”

Kedua, setelah (atas restu Presiden) memenangkan kursi Ketua Umum Partai Golkar, Kalla menjadi penting terutama bukan sebagai “sosok personal” melainkan sebagai “figur institusional”. Sang Wapres adalah pengendali partai terbesar dengan kursi tergemuk dalam parlemen.

Maka, terbangunlah hubungan khas Yudhoyono-Kalla. Bagi Yudhoyono, Kalla adalah pedang bermata dua. Ujungnya yang satu bisa dipergunakan Yudhoyono untuk membunuh oposisi atas pemerintahannya. Tapi, ujungnya yang lain menghadap persis ke jantungnya. Bagi Yudhoyono, Kalla adalah berkah yang berpotensi menjadi musibah. Keduanya adalah duet yang potensial menjadi duel.

Dalam komposisi inilah terbentuk the Indonesian “cohabitation.” Dibandingkan yang biasa terbangun dalam semi-presidensialisme, cohabitation a la Indonesia ini berbeda setidaknya dalam tiga hal.

Pertama, dalam semi-presidensialisme, cohabitation biasanya jadi masalah di awal, ketika salah satu pihak (kepala negara atau kepala pemerintahan) baru saja merebut kursinya dan mesti menjalani tahapan konsolidasi politik. Sejalan dengan waktu, bahaya cohabitation cenderung mengecil karena saling pengertian dan titik temu sudah semakin tercapai.

Berbeda dengan itu, bahaya the Indonesian “cohabitation” justru membesar ketika pemerintahan semakin mendekati akhir. Di masa-masa awal, kedua pemimpin (Presiden dan Wapres) justru menjalani bulan madu, berusaha saling memahami, dan berduet mengkonsolidasikan pemerintahan. Titik temu pun lebih mudah dibangun di antara keduanya. Tetapi, ketika pemilu berikutnya makin mendekat, ketegangan dan konflik justru lebih potensial mengemuka. Titik pecah potensial menenggelamkan titik temu.

Kedua, dalam semi-presidensialisme yang sudah mapan (semacam Perancis dan Finlandia) cohabitation dan bahaya-bahayanya mudah diprediksi berdasarkan perbedaan orientasi politik dan ideologi partai kedua pemimpin. Cohabitation pun cenderung mudah dikendalikan.

Di Indonesia, partai tak memiliki orientasi politik dan ideologi yang jelas. Orientasi politik partai biasanya hanya tertulis di dokumen resmi tanpa terlihat perwujudannya. Ideologi partai hanya diteriakkan dalam kampanye tetapi tak mudah ditemukan implementasinya. Cohabitation pun menjadi tak berpola dan lebih sulit dikendalikan.

Ketiga, berbeda dengan cohabitation dalam semi-presidensialisme, the Indonesian cohabitation tak punya karakter khusus kecuali sifatnya yang pragmatis. Bahkan, pragmatisme ini kemudian lebih bersifat personal karena banyak tergantung pada pilihan-pilihan pragmatis sang pemimpin.

Menurut hemat saya, menyelesaikan masalah cohabitation adalah salah satu pekerjaan rumah penting dalam demokratisasi Indonesia. Diperlukan institutional arrangement untuk meminimalkan kemungkinan terbangunnya cohabitation yang penuh bahaya ini. Jika arrangement ini tak tersedia, hambatan bagi efektivitas kerja pemerintahan datang pertama-tama bukan dari oposisi, melainkan dari dalam dirinya sendiri.

Akhir Para Diktator

Saddam Hussein, mantan Presiden Irak (1979-2003), akhirnya dihukum gantung 30 Desember 2006 lalu. Tragedi Saddam sendiri tidaklah sendirian. Ia adalah satu dari sejumlah diktatur yang dalam era politik modern mesti menjalani akhir kekuasaan dan hidup yang memilukan.

Masih lekat dalam ingatan kita, di hari Natal 1989, Nicolae Ceausescu, Presiden Rumania waktu itu, tersungkur bersimbah darah dieksekusi oleh kekuatan yang selama ia berkuasa (1967-1989) ia besarkan sendiri. Jauh sebelumnya, 28 April 1945, Perdana Menteri Italia (1922-1943), Benito Mussolini juga mesti mengakhiri hidupnya di hadapan para eksekutor. Saddam, Ceausescu dan Mussolini adalah para diktator yang begitu berkuasa pada masa jayanya tetapi mesti menjalani akhir tragis.

Sejumlah diktator lain, mengakhiri hidupnya di tengah proses peradilan atas kekeliruan-kekeliruan yang ia buat selama berkuasa. Pada 10 Desember tahun lalu, diktator Chile, Augusto Pinochet – menjabat Presiden antara 1973-1990 – meninggal dunia ketika peradilannya belum lagi selesai. Sebelumnya, Slobodan Milosevic, Presiden Yugoslavia (1989-2000) juga meninggal di tengah proses peradilan atasnya yang diramalkan masih panjang.

Sejumlah diktator lain mengakhiri hidupnya di pengasingan tanpa pernah merasakan proses peradilan. Pada 16 Agustus 2006, Alfredo Strossner, Presiden Paraguay (1954-1989) meninggal di tempat pengasingannya, Brazil. Tepat tiga tahun sebelumnya, 16 Agustus 2003, Idi Amin Dada, Presiden diktator Uganda yang legendaris (1971-1979) mati di Arab Saudi. Diktator legenda Asia Tenggara yang memimpin Khmer Merah (1975-1979), Pol Pot, meninggal dunia pada 16 April 1998 di hutan Kamboja, tempatnya mengasingkan diri. Jean-Bedel Bokassa, penguasa Afrika Tengah (1972-1979), mengasingkan diri di Pantai Gading dan Perancis hingga kemudian meninggal 3 November 1996.

Perlakuan atas masa lampau dan seluruh bagiannya kerapkali memainkan peranan penting dalam sukses atau gagal pengelolaan masa depan. Legacy matters. Gajah mati meninggalkan gading. Diktator mati meninggalkan warisan masa lampau dalam pengelolaan masa depan negeri yang pernah dikuasainya. Dalam konteks inilah perlakuan atas diktator (beserta sistem kekuasaan yang disimbolisasi dan diwakilinya) menjadi penting.

Berbagai literatur demokrasi pun menggarisbawahi betapa warisan masa lampau beserta ingatan atasnya memainkan peranan signifikan dalam pengelolaan perubahan sebuah masyarakat. Memory matters. Buku kumpulan tulisan yang diterbitkan Oxford, The Politics of Memory and Democratization, memberi garis bawah: Salah satu isu terpenting dalam transisi dari otoritarianisme ke demokrasi adalah bagaimana menguatkan ingatan tentang represi dan peninggalan-peninggalannya. Dengan membahas Afrika Selatan, Portugal, Spanyol, Rusia, Jerman setekah reunifikasi, negara-negara Eropa Tengah dan Timur, dan negara-negara Amerika Selatan, buku ini mengingatkan bahwa ingatan yang kuat menyokong sukses transisi.

Saya sepakat. Kezaliman masa lalu mesti disimpan dalam ingatan untuk membikin sebuah masyarakat tak tercebur dua kali -- apalagi berkali-kali -- ke lubang yang sama. Masyarakat Jerman termasuk yang tahu betul soal ini. Mereka terus-menerus mengingatkan dirinya agar berbaik-baik dalam vergangenheitsbewaltgung, pengelolaan masa lalu. Karena itu, mereka menyimpan trauma Holocaust -- drama pembantaian orang-orang Yahudi -- di kepala mereka untuk membuat kejahatan kemanusiaan yang biadab itu tak terulangi.

Dalam konteks itulah, perlakuan atas seorang diktator menjadi penting untuk menegaskan sikap sebuah bangsa terhadap kemarin, hari ini dan besok. Perlakuan ini terutama bisa menggambarkan apakah masa lampau “dimaafkan dan dilupakan” atau “tak dimaafkan dan tak dilupakan” atau “dimaafkan tapi tak dilupakan”. Karena itu, percuma saja seorang diktatur dipenggal manakala masyarakatnya justru malah menjadikannya pahlawan dan dengan segera pula kekeliruan-kekeliruan masa lampau dilupakan dan kembali diulang di masa kini. Percuma juga memperlakukan seorang diktatur yang anti demokrasi dengan cara-cara yang tidak demokratis.

Demokrasi menuntut perlakuan yang layak atas diktatur dan warisan-warisannya dalam satu model rekonsiliasi demokratis. Dalam model ini, rumus yang umum dipakai adalah “memaafkan tanpa melupakan”. Maka, sebuah proses hukum dan politik yang bebas, transparan, tuntas, cepat dan adil dibutuhkan. Dalam proses ini, pengadilan atas sang diktatur dibutuhkan. Kesalahan-kesalahannya mesti dibeberkan sebagai pelajaran yang tak layak diulang. Setelah semua proses berakhir, vonis dijatuhkan, untuk memberi pelajaran bagi siapa pun bahwa kekeliruan mesti diberi sanksi. Bisa saja, setelah itu, sang diktatur diberi pengampunan secara politik sebagaimana terjadi di Korea Selatan. Tetapi, pengampunan hanya bisa diberikan setelah seluruh bangsa mengambil pelajaran.

Di Indonesia, setelah reformasi berjalan lebih dari delapan tahun, kita belum juga menuntaskan proses itu dengan layak. Bahkan, rekonsiliasi yang kita jalani, sejauh ini lebih mengarah ke pemberian maaf secara serta merta sambil melupakan. Dalam jangka pendek, kita memang tak akan merasakan ekses dari perlakuan keliru terhadap masa lampau dan kekeliruan-kekeliruannya ini. Tapi, dalam jangka panjang, ini sungguh berbahaya.

Saya mengerti bahwa Soeharto sudah tua dan sakit-sakitan. Sangat boleh jadi, sebuah pengadilan yang layak atasnya juga akan menghadapi kendala teknis yang tidak sedikit. Persoalannya, dengan atau tanpa pengadilan, kita tak pernah membuat penegasan resmi secara politik dan hukum tentang kekeliruan-kekeliruan kekuasaannya. Kasus Soeharto dibiarkan menggantung tanpa kejelasan. Keadaan ini membuka kemungkinan bagi terjadinya (kembali) manipulasi atas sejarah dan membuat kita terjeblos ke lubang yang sama berkali-kali.

Di tengah kontroversi masyarakat internasional yang masih hangat hingga hari ini tentang kelayakan eksekusi Saddam, ada baiknya Indonesia mengambil pelajaran. Tanpa sikap layak atas sang diktatur beserta unsur-unsur masa lampau yang disimbolisasi dan diwakilinya, kita akan terseok-seok menjalani perubahan dan dalam menjemput masa depan yang lebih baik.

Soeharto memang selayaknya dimaafkan tetapi setelah proses politik dan hukum secara resmi menegaskan kekeliruan-kekeliruannya. Dengan itu, kita mengambil pelajaran atas kekeliruan masa lampau untuk tak mengulangnya di hari ini dan besok. Sambil, tentu saja, jangan pernah melupakan masa lampau beserta catatan buruk dan baiknya. Hanya dengan memaafkan dan tak melupakan secara layak seperti ini, kita bisa menjalani transisi menuju demokrasi.

Lima Tafsir Koalisi Janggal

Pekan lalu, sejumlah tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar memproklamasikan semacam “Koalisi Kebangsaan Jilid II” di Medan. Sebuah partai oposisi bersekutu dengan partai penyokong pemerintah yang Ketua Umumnya menjabat wakil Presiden dan empat kadernya ikut dalam kabinet. Bagaimana kita memahami koalisi janggal ini?

Sebelum menjawabnya, ada baiknya kita sepakati sejumlah asumsi. Partai tak pernah merupakan sebuah entitas politik homogen. Partai adalah sebuah rumah berpenghuni para politisi dengan orientasi politik majemuk dan kadang-kadang saling cekcok. Karena itu, langkah sejumlah tokoh partai tak bisa selalu dipandang serta merta sebagai “langkah partai”.

Apalagi, Pemilu 2004 juga mengajarkan bahwa tiap partai mengidap tiga lapis otonomi politik. Para pemilih partai dalam pemilu legislatif ternyata relatif otonom dan bisa memilih kandidat Presiden yang tak didukung partai pilihannya. Kepemimpinan partai di tingkat lokal juga relatif otonom vis a vis kepemimpinan nasionalnya dan bisa keluar dari garis partai. Elite nasional partai juga relatif otonom berhadapan dengan para pengurus formal partainya dan bisa saja berbeda bahkan membelot dari keputusan partai yang mereka pandang keliru.

Maka, semakin dekat Pemilu 2009, setiap partai akan dilanda gejala mendua. Di satu sisi, terjadi arus mudik politisi. Sambil bekerja di posnya masing-masing, para politisi partai dalam legislative dan eksekutif makin diharu-biru “mars pemilu” dan kembali ke hariaan partai. Tapi, di sisi lain, kemajemukan dan tiga lapis otonomi dalam partai justru makin menegas.

Di atas dasar asumsi-asumsi itu, tersedia setidaknya lima kemungkinan tafsir atas koalisi janggal PDIP-Golkar. Pertama, kedua partai bisa saja sedang saling menjajagi persekutuan untuk Pemilihan Presiden 2009. Persoalannya, koalisi untuk Pemilu Presiden akan selalu berpusat pada tokoh atau figur yang dijadikan kandidat Presiden dan Wakil Presiden. Maka, agak sulit membayangkan PDIP (yang sudah memiliki Megawati sebagai kandidat Presiden) dan Golkar (kendaraan yang akan diperebutkan sejumlah tokoh termasuk Wapres Muhammad Jusuf Kalla) bisa berkoalisi. Tafsir inipun terlalu pagi dan tergopoh.

Kedua, kedua partai berkoalisi untuk membangun oposisi berjamaah di DPR, terutama dengan memperkuat fungsi pengawasan. Kesepahaman para politisi dari kedua partai dalam mengajukan sejumlah interpelasi belakangan pun bisa ditunjuk sebagai penguat kemungkinan ini.

Persoalannya, kedua partai punya sikap akhir yang berbeda berhadapan dengan pemerintah. PDIP akan memilih beroposisi sampai termin pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla berakhir. Sementara Golkar mau tak mau harus menjaga pemerintahan sampai akhir. Tak masuk akal membayangkan Golkar akan membunuh ketua umumnya sendiri plus empat kader mereka di kabinet. Koalisi ini pun akan kompak dan bergemuruh di awal lalu marapuh dan bersimpang jalan di akhir. Maka, tafsir inipun menjadi lemah.

Ketiga, sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Fraksi PDIP DPR, Tjahjo Kumolo, kedua partai berkoalisi untuk meraih kemenangan bersama dalam pemilihan kepala daerah. Persoalannya, agak sulit membayangkan bahwa koalisi lokal untuk pilkada bisa diformat secara baku oleh partai di tingkat pusat. Rangkaian pilkada 2005-2007 mengajarkan bahwa partai mana saja bisa berkoalisi dengan partai mana pun.

Pragmatisme sesaat dan keunikan situasi lokal membuat “pola koalisi” pilkada tak bisa dibakukan. Satu-satunya pola yang terbangun dalam koalisi ini adalah ketiadaan pola itu. Karena itu, tafsir ini masuk akal tetapi lumayan lemah.

Keempat, kedua partai berkoalisi memperjuangkan agenda-agenda bersama dalam legislasi, terutama berkaitan dengan paket UU Politik yang mulai dibahas di DPR. Sebagai dua partai terbesar, PDIP dan Golkar memang punya banyak titik temu berhadapan dengan partai-partai lain yang lebih kecil. Mereka misalnya, cenderung menaikkan syarat besaran kursi dan suara partai untuk mengajukan pasangan kandidat Presiden dan Wapres. Mereka juga sepaham bahwa jumlah partai harus dibatasi dengan memperberat syarat pembentukan partai baru.

Maka, inilah tafsir yang paling masuk akal. Jika terkonfirmasi, kita bakal menyaksikan adegan ulangan dari drama koalisi sejenis yang terjadi dalam pembahasan paket UU Politik menjelang Pemilu 2004 lalu. Kedua partai bersekutu menyiapkan aturan yang cocok bagi keduanya untuk memelihara peluang mempertahankan besaran suara mereka.

Kelima, sekadar menjajaki penguatan komunikasi politik. Terlepas dari perbedaan dasar di antara keduanya (beroposisi versus ikut memerintah), penguatan komunikasi politik tak akan merugikan siapapun. Koalisi dalam kerangka ini pun bukan hanya masuk akal tetapi juga sejatinya tak terhindarkan.

Lima kemungkinan tafsir itu mengantar kita ke kesimpulan sederhana. Koalisi PDIP-Golkar hanya mungkin menjadi persekutuan terbatas dan ad hoc. Ia mudah dibangun dan mudah pula bubar. Manakala hendak menjangkau agenda politik lebih besar dan mendasar, koalisi ini akan berbentukan dengan titik pecah yang kuat dan titik temu yang lemah.

Dalam kerangka ini, “proklamasi Medan” pun menjadi sebuah upacara yang terlalu mewah untuk langkah politik yang sejatinya sangat biasa. Maka, reaksi masuk akal yang selayaknya disiapkan partai-partai lain adalah bersikap biasa saja. Mengutip mantan Presiden Abdurrahman Wahid, “Gitu aja kok repot.”

Oposisi Permanen, Presiden Temporer

Pemilihan langsung di mana saja biasanya mengerek naik kepercayaan diri dua pihak sekaligus: para pemilih dan pejabat publik terpilih.

Ketika pemilu berlangsung, para pemilih merasa bahwa mereka adalah “penentu”. Seusai pemilu, mereka merasa berhak berharap bahwa pemerintah lebih menimbang suara mereka, suara para pemilih. Mereka juga cenderung percaya diri untuk menjadi pencatat dan penagih janji. Pemilu langsung pun cenderung menghadirkan masyarakat yang lebih rewel dan tak begitu saja menerima kerja kekuasaan. Mereka merasa tahu apa yang mereka mau dan cenderung menuntut pemerintah untuk mengikuti kemauan mereka.

Di pihak lain, para kandidat pejabat publik merasa sebagai “bintang” selama pemilu berlangsung. Setelah terpilih, mereka merasa memiliki legitimasi kuat tak tergoyahkan. Jika dalam pemilu “suara rakyat adalah suara Tuhan,” seusai pemilu para pejabat publik merasa bahwa merekalah penjelmaan suara rakyat itu. Mereka pun membuat kebijakan dengan kepercayaan diri penuh. Mereka merasa apa yang mereka kerjakan niscaya mencerminkan apa yang rakyat maui.

Maka, setiap pemilihan langsung tak hanya berdampak satu sisi pada penguatan legitimasi politik pemerintahan hasil pemilu, melainkan juga memfasilitasi grafik naik oposisi terhadap pemerintahan. Selain itu, terjadi pula perubahan karakter oposisi politik, dari sekadar gejala di tataran elite menjadi gejala pada semua orang.

Situasi itulah yang kurang lebih terpotret di tengah kita selama lebih dari dua tahun terakhir. Pemilu Presiden langsung 2004 tak saja menghadirkan pemerintah yang tampak percaya tapi juga terus memfasilitasi grafik naik oposisi.

Di satu sisi, kita menyaksikan pemerintahan Yudhoyono-Kalla tampak percaya diri atas pilihan langkah dan kebijakan mereka. Sementara itu, kritik datang bertubi-tubi dari berbagai penjuru terhadap gaya kepemimpinan serta langkah dan kebijakan mereka. Substansi kritik meliputi spektrum persoalan yang cukup luas. Bermasalahnya penyusunan dan susunan kabinet. Tingginya kecenderungan “memberi ikan dan bukan pancing” dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang bernuansa populis. Berlebihannya orientasi kepemimpinan pada pencitraan lewat simbol (tebar pesona) dan bukan kinerja. Lemahnya pemasaran kebijakan. Kerap dan tak efisiennya aktivitas kunjungan ke luar negeri pemimpin pemerintahan dan negara. Gemarnya pemimpin menggunakan retorika populis sambil menjalankan kebijakan yang sebaliknya. Terbangunnya kepemimpinan yang cenderung manis tapi tak kuat. Lemahnya manajemen pemerintahan. Kurang padunya kepemimpinan dan cabinet. Tidak adanya pola manajemen bencana yang layak, dan seterusnya.

Suara-suara kritis itu belakangan makin kerap diartikulasikan oleh berbagai tokoh, mulai dari mantan pemimpin lembaga eksekutif dan legislatif, mantan pejabat publik, serta pimpinan dan kalangan partai yang tak terwakili dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Kritik dan oposisi belakangan juga makin menggejala di kalangan purnawirawan tentara.

Sesungguhnya, hadirnya pemerintah dan oposisi yang percaya diri adalah perkara yang sungguh biasa. Ia bersifat omnipresent (ada di mana saja) dalam setiap sistem yang demokratis. Bahkan, dalam batas tertentu, ia adalah kabar baik belaka.

Namun demikian, perkembangan yang terjadi sejauh ini memberi alasan bagi setidaknya dua kecemasan. Pertama, pemerintah terutama Presiden dan kalangan istana memiliki kecenderungan untuk terlampau sensitif berhadapan dengan kritik. Sementara itu, kedua, sejumlah kalangan dalam masyarakat tampaknya mudah terjebak menggunakan tata cara non-demokratis untuk mencapai apa yang mereka klaim sebagai “perbaikan kualitas demokrasi”.

Presiden (dan pemerintah secara umum) sejauh ini belum juga mampu mengantisipasi setiap kritik dan oposisi dengan strategi komunikasi dan pemasaran politik yang layak. Alih-alih, Presiden dan para pejabat lainnya kerap kali tergopoh-gopoh bereaksi untuk hal-hal yang tak perlu dan sebaliknya menganggap angin lalu hal ihwal genting yang diperkarakan.

Mari kita sebut sejumlah misal paling mutakhir. Selebaran gelap tentang “Dewan Revolusi” direspon dengan kerepotan Istana yang tak perlu. Aktivitas oposisi kecil semacam “Gerakan Mencabut Mandat” ditanggapi dengan pernyataan bahwa itu tindakan inkonstitusional. Kritik “tebar pesona” dijawab secara emosional, bahwa kritik itu sebaiknya kembali ke alamat si pengirim.

Yang terbangun kemudian adalah sebuah ironi. Pemerintahan yang tampak percaya diri ternyata tak selalu pandai menjaga sensitivitasnya. Maka, layaklah dicemaskan bahwa Presiden dan pemerintahan secara keseluruhan – jangan-jangan – belum juga menyadari kenyataan politik yang nyaris niscaya dalam demokrasi: oposisi selalu permanen karena membatin di dalam kerja setiap demokrasi, sementara Presiden (atau simbol-simbol kekuasaan lainnya) selalu temporer adanya.

Jangan-jangan mereka lupa bahwa demokrasi yang sehat pandai menjaga sirkulasi kekuasaan (termasuk di dalamnya pergantian demi pergantian Presiden) sekaligus pandai memelihara warga negara yang terjaga dan melawan pencederaan hak, aspirasi dan kepentingan mereka. Jangan-jangan, mereka alpa bahwa dalam demokrasi, setiap presiden-temporer mesti senantiasa ikhlas mengurusi oposisi-permanen.

Maka, Presiden dan semua pejabat publik sesungguhya tak punya cara lain untuk menjawab setiap kritik kalangan oposisi, selain membuktikan dengan kerja dan kinerja. Hanya dengan cara ini para pejabat publik bisa membuktikan dengan telak bahwa para pengeritik dan kritik-kritiknya adalah keliru belaka.

Yang kita perlukan bukanlah pemerintah yang sekadar sibuk mengurusi kritik, melainkan yang menjawab kritik dengan kebijakan yang tepat sasaran. Maka, sudah bukan saatnya lagi sekadar berdebat di tataran wacana. Memerintah bukanlah berkampanye. Masa berdebat sudah selesai. Pemerintah tak perlu terjebak berbalas pantun dan beradu puisi. Mereka mesti merangkai prosa.

Dalam kerangka itulah demokrasi menuntut pemerintah bekerja dalam koridor mandat dan keterwakilan. Keluar dari koridor ini adalah “pengkhianatan” dan hanya akan memfasilitasi terbangunnya – apa yang disebut Guillermo O’Donnell sebagai – “demokrasi delegatif”.

Tetapi, demokrasi juga menuntut kritik dan oposisi untuk bersetia dalam koridornya. Tak hanya tujuan dan substansi kritik yang mesti demokratis, melainkan juga caranya. Keluar dari koridor beresiko pada hilangnya otentisitas. Dalam demokrasi, bukan hanya pemerintah yang bisa berkhianat, tetapi juga masyarakat beserta gerakan-gerakan kritik dan oposisi yang mereka galang. Pada titik inilah persoalan kerapkali mengemuka.

Kecenderungan pencederaan otentisitas kritik dan oposisi sejauh ini menggejala melalui beragam bentuk: berpolitik dengan cara menggertak dan menciptakan ketakutan kolektif di tengah publik, menggerakkan massa untuk menuntut hukum ditegakkan tapi sambil main hakim sendiri (dengan memakai nama dan alasan agama secara salah kaprah), mengartikulasikan aspirasi sendiri untuk menolak tokoh dan/atau kebijakan politik sambil mengaku mewakili orang lain dan orang banyak, mencita-citakan pergantian kekuasaan tanpa persetujuan orang banyak (lewat pemilu), dan seterusnya.

Menimbang perkembangan politik selama lebih dari sewindu terakhir, saya tak percaya bahwa akan ada pihak (termasuk tentara) yang bisa mengaborsi demokrasi kita dengan begitu mudahnya. Sebagian besar kita saat ini sudah ‘terpojok’ untuk menerima demokrasi bukan saja sebagai sebuah imperasi atau keharusan normative melainkan juga sebagai kenyataan yang makin tak terhindarkan. Namun demikian, daftar pencederaan otentisitas gerakan oposisi dan kritik di atas tetap layak dicemaskan.

Pada akhirnya, Pemilu Presiden 2004 ternyata bukan saja potensial mengangkat percaya diri pejabat publik terpilih dan para pemilih, melainkan juga menaikkan sensitivitas keduanya. Masyarakat cenderung sensitif pada setiap pencederaan harapan dan kepentingan mereka. Di sisi lain, para pejabat publik, cenderung sensitif pada setiap kritik dan penolakan atas kebijakan dan langkah mereka.

Tugas sejarah kita adalah tidak terjebak pada surplus percaya diri dan sensitivitas di atas takaran. Sebuah tugas penting untuk menjaga demokrasi kita yang masih belia.

[Tempo, 23 Januari 2007]

In Memoriam Prof. Miriam Budiardjo


Kabar duka itu menyengat banyak orang, siang kemarin. Prof Dr (HC) Miriam Budiardjo, MA wafat dalam usia 83 tahun 1 bulan 19 hari. Kabar ini tetap saja mengejutkan meskipun sudah sejak agak lama diketahui bahwa Prof Miriam – atau biasa dipanggil Bu Mir, di kalangan akademia Universitas Indonesia (UI) – menurun kesehatannya, terutama karena faktor usia.

Prof. Miriam adalah Guru – dengan G besar -- bagi hampir semua orang yang saat ini bergelut dengan ilmu sosial, terutama ilmu politik, di Universitas Indonesia. Bahkan bukan hanya itu. Ia adalah guru bagi hampir semua orang yang menggeluti ilmu politik di Indonesia.

Bersama-sama dengan Prof Deliar Noer dan (alm) Dr. Alfian, ia adalah peletak dasar ilmu politik di Indonesia. Di UI, ia adalah bidan dari para sarjana politik yang mulai dilahirkan oleh jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) – dulu bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (FIPK) – sejak 1969. Dalam perkembangannya kemudian, sebagian dari sarjana itu menyebar ke berbagai universitas di seluruh Indonesia dan menjadi perintis ilmu politik di tempatnya masing-masing.

Tak banyak yang tahu bahwa sarjana ilmu politik pertama yang dilahirkan Prof. Miriam (dan kawan-kawan di FIPK UI) adalah seorang mahasiswa dari Thailand bernama Makata yang menulis skripsi mengenai “Politik Konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia” (Indonesia Raja, 24/11/1969).

*****

Posisi Prof. Miriam sebagai Guru Ilmu Politik bagi semua orang dilembagakan melalui karya klasiknya, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Dicetak ulang puluhan kali sejak pertama kali diterbitkan (1982), dan dibajak puluhan kali secara tak bertanggung jawab, buku ini menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa ilmu politik di berbagai universitas di Indonesia. Benar bahwa setelah itu Prof. Miriam tidak terlampau produktif menghasilkan buku dan karya-karya ilmiah lainnya, tetapi Dasar-Dasar Ilmu Politik rasa-rasanya hampir selalu ada di rak buku setiap mahasiswa ilmu politik di mana pun.

Buku itu menjadi semacam menu wajib bagi setiap pelajar ilmu politik, bersama beberapa karya lain Prof. Miriam. Diantaranya: Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia (ditulis bersama Prof. Maswadi Rauf, diterbitkan Ghalia Indonesia, 1983), dan artikel "Pendekatan-Pendekatan dalam Ilmu Politik" (terbit dalam Jurnal Ilmu Politik, No. 1, 1986).

Sebagi Guru, Prof. Miriam tidak pernah meninggalkan kampus sejak masa-masa perintisan jurusan Ilmu Politik di UI hingga akhir hayatnya. Ia adalah salah satu contoh terbaik pengajar dan pendidik yang benar-benar mencintai kampus dan para mahasiswanya. Sebagai mahasiswa, kemudian asisten dosen dan dosen di departemen Ilmu Politik UI, saya menyaksikan betapa Prof. Miriam mencemaskan masa depan ilmu politik karena kecintaannya yang meluap-luap.

Salah satu sumber kecemasannya yang paling utama adalah perkembangan sumber daya manusia. Berkali-kali, dalam berbagai kesempatan, ia merisaukan betapa terlambat dan tertinggalnya pengembangan sumber daya manusia di jurusan-jurusan ilmu politik.

*****

Dalam posisinya sebagai Guru, Prof. Miriam mencatat dengan cermat perkembangan ilmu politik di Indonesia. Catatan inilah yang antara lain ia sampaikan melalui Pidato Purnabaktinya sebagai Guru Besar Ilmu Politik di FISIP UI, 1 April 1989. (Pidato ini kemudian dipublikasikan secara lebih luas dalam Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1994).

Melalui pidato ini, Prof. Miriam mengungkapkan optimismenya akan masa depan ilmu politik sambil memberinya semacam “catatan kaki”. Di masa depan, menurutnya, para sarjana ilmu politik semestinya mengarahkan agendanya pada dua hal: memperkuat pengetahuan ekonomi mereka; dan melakukan indigenisasi ilmu politik, sebagaimana telah berhasil dilakukan oleh ilmuwan politik India.

Di kemudian hari, daftar harapan itu dibuatnya lebih panjang. Di sejumlah kesempatan, ia sangat berharap ilmu politik tidak tertinggal oleh perkembangan masyarakat yang melaju cepat, terutama setelah kejatuhan Soeharto. Dibalut oleh cemas, ia khawatir bahwa demokratisasi yang begitu bergemuruh di luar kampus pada akhirnya tak terjejeri oleh perubahan ilmu politik.

Hingga Tuhan memanggilnya kemarin siang, tiga harapan Prof. Miriam itu masih tetap relevan. Tuntutan agar ilmu politik makin mengembangkan pendekatan yang lintas-disiplin dan multi-disiplin, mengembangkan proyek indigenisasi (stau kerap disebut secara salah kaprah dalam istilah “pribumisasi) sehingga lebih meng-Indonesia, serta menyejajarkan diri dengan perkembangan ekonomi-politik yang amat cepat dalam kerangka demokratisasi, tampaknya belum juga terjawab dengan baik oleh ilmu politik Indonesia hingga hari ini.

Menurut hemat saya, salah satu cara melepas kepergian Prof. Miriam dengan layak adalah mengingat harapan-harapannya itu serta berusaha memperjuangkan pemenuhannya.

Tentu saja, mengenang seorang Prof. Miriam “semata” sebagai seorang Guru, berpotensi mengecilkan kebesaran sosoknya. Di luar kampus, Prof. Miriam juga meninggalkan sejumlah jejak penting, seperti kiprahnya sebagai Wakil Ketua Komnas HAM dan anggota Tim Sebelas yang bertugas memverifikasi partai-partai politik calon peserta Pemilu 1999. Namun demikian, menurut dugaan saya, di atas segalanya, Prof. Miriam akan berbahagia dikenang sebagai seorang Guru – dengan G besar.

Mencicil Optimisme

Sejarah tak pernah merupakan deretan potret atau kumpulan gambar terpotong yang diam. Sejarah selalu merupakan rangkaian adegan gambar hidup yang sambung menyambung.

Maka, pembicaraan tentang satu tahun tak bisa lepas dari diskusi tentang tahun lain yang mengantarnya serta yang dijemputnya. Begitulah, perbincangan tentang tahun 2007 mesti menyertakan diskusi mengenai 2006 yang mengantarnya serta 2008 yang dijemputnya. Politik Indonesia 2007 pun diantar oleh politik Indonesia 2006 dan menjemput politik Indonesia 2008.

Dalam konteks itu, sejumlah kalangan (sebagaimana terpotret media) memperbincangkan politik 2007 dalam konteks perlombaan pesimisme. Tahun 2007 dipandang tak akan menjadi tahun yang berbeda dan lebih baik. Mereka beranggapan bahwa modal bagi pesimisme telah dipupuk dengan baik sepanjang 2006, sementara tahun 2008 yang dijemputnya dilanda “demam politik tinggi” menjelang Pemilu 2009. Tahun 2007 dipandang sebagai tahun yang terjepit di antara suramnya 2006 dan ketidakpastian politik 2008.

Pesimisme Tak Relevan

Tentu saja selalu tersedia alasan untuk pesimis. Tapi, persoalannya bukan di situ. Persoalannya, pesimisme tak akan pernah menjadi modal memadai untuk merebut hari ini dan besok yang lebih baik. Meminjam Noam Chomsky, “Jika Anda berlaku seolah-olah tak ada peluang bagi perubahan, maka sebetulnya Anda sedang menjamin bahwa memang tak akan ada perubahan.”

Selain itu, pesimisme kerapkali tidak terlalu relevan bagi “para pemain”. Di masa lalu, kita memang mau tak mau, suka atau tidak, dipaksa menjadi penonton, sementara perubahan diserahkan kepada para “wali”, yakni para elite yang bekerja seolah-olah atas nama dan untuk kita. Sekarang, zaman itu sudah lewat. Dari penonton, posisi kita bergeser menjadi pemain. Konsep “wali” digantikan oleh “mandat”.

Benar bahwa para elite – termasuk wakil-wakil kita di lembaga legislatif dan pejabat publik yang kita pilih – kerapkali tetap mengabaikan kepentingan dan aspirasi kita. Tetapi, posisi kita sebagai pemberi mandat tak bisa digantikan dan dihentikan. Dalam konteks ini, perilaku elite yang menyebalkan dalam batas-batas tertentu mencerminkan karakteristik para pemilih mereka. Dalam batas-batas tertentu, pada waktu-waktu tertentu, kita sesungguhnya bisa menghentikan mereka.

Persoalannya, harapan mengenai perubahan perilaku elite hanya mungkin terwujud manakala setiap orang pun lebih dahulu melakukan perubahan kualitas dirinya – sebagai warga negara maupun sebagai (calon) pemilih). Dalam konteks inilah, setiap orang tak berkesempatan menjadi penonton. Setiap orang dituntut menjadi pemain dalam kapasitas masing-masing yang serba terbatas.

Bagi sebagian orang, argumentasi di atas boleh jadi terasa romantis. Tetapi, sejarah peradaban-peradaban besar membuktikan bahwa “romantisme” perubahan-berbasis-orang-per-orang seperti itulah yang tebukti menjadi modal yang layak untuk merebut besok yang lebih baik.

Dalam kerangka itulah, sebuah peribahasa dikenali oleh sejumlah masyarakat demokratis: Beda antara optimisme dan pesimisme sesungguhnya tipis belaka; optimisme adalah berusaha merebut donat, pesimisme merebut lubangnya. Ya, bagi para pemain, bukan penonton, pesimisme pun menjadi tak relevan.

Mencicil Optimisme

Persoalannya: Mungkinkah kita, di Indonesia, memasuki 2007, dengan penuh optimisme? Tersediakan alasan untuk optimis di tengah centang perenang politik dan ekonomi kita beberapa tahun terakhir? Tidakkah optimisme yang dipaksakan hanya akan menjadi pelipur lara, bahkan semacam upaya membohongi diri sendiri?

Alih-alih langsung menjawab langsung deretan pertanyaan krusial itu, kita selayaknya mulai dengan membongkar ulang “paradigma” kita tentang optimisme versus pesimisme. Selama ini, kita terbiasa membayangkan Indonesia sebagai sebuah “satuan besar” yang beban pembenahannya diletakkan sepenuhnya di pundak kita. Kita tak dibiasakan memandang pembenahan Indonesia sebagai hasil penjumlahan dari usaha-usaha kecil yang dikerjakan banyak orang dengan segenap keterbatasan masing-masing.

Kita pun terbiasa memandang sejarah sebagai hikayat orang besar yang di pundak mereka Indonesia Raya diusung ke mana-mana. Kita tak terbiasa memahami sejarah sebagai percikan keringat orang-orang yang namanya tak dikenal, yang jumlahnya jutaan, yang memikul serpihan-sepihan kecil Indonesia sesuai dengan keterbatasan kemampuan dan arena kerja masing-masing.

Terjadilah kekeliruan paradigmatik sebagai konsekuensinya. Kita terbiasa menunggu orang-orang besar bekerja atas nama dan untuk kita. Kita terbiasa menitipkan perebutan masa depan pada segelintir orang yang kita pandang “lebih dari kita”. Kita pun tak terbiasa “mencicil Indonesia”.

Sebagai sebuah proyek, agenda kerja, tanggung jawab, atau tuntutan hidup, Indonesia pun terasa berat. Kita pun dipaksa untuk tak bisa memelihara optimisme. Pesimisme pun begitu dekat dengan kita, bahkan tak hadir sebagai sebuah pilihan, melainkan sesuatu yang tak terhindarkan. Kita terbiasa memborong pesimisme dan, sebaliknya, tak pernah belajar mencicil optimisme.

Langkah kaki kita ke 2007 selayaknya dimulai dengan belajar mencicil optimisme. Kita, orang per orang, memang tak akan pernah kuasa membuat Indonesia yang lebih baik sendirian. Tapi, kita bisa melakukan perbaikan dalam skala yang terjangkau, di arena tempat aktivitas masing-masing. Setiap orang pun akan punya skala atau ukuran optimisme versus pesimismenya masing-masing.

Maka, setiap orang, dengan cara masing-masing, mencicil optimisme. Pada titik inilah optimisme bukan saja menjadi sebuah kemungkinan yang terbuka melainkan juga perlengkapan yang sesungguhnya telah kita miliki.

Bagi mereka yang terbiasa dengan mekanisme kerja sentralistik dan perolehan hasil yang instan, gagasan ini tentu tak menarik. Tapi, di sinilah persoalan Indonesia selama reformasi. Kita terbiasa mengelola turbulensi di era baru -- yang diakibatkan oleh proses perpindahan dari yang lama ke yang baru itu -- dengan menggunakan logika lama.

Izinkanlah saya menulis analisis politik yang tak lazim ini untuk menyambut 2007. Ini semacam ajakan untuk menanggalkan logika lama dalam mengelola turbulensi di era baru. Semoga kita bisa membangun kesadaran dan kekuatan serta merebut kesempatan untuk menjemput besok yang lebih dari hari ini dan hari ini yang lebih baik dari kemarin.

[Kompas, 9 Januari 2007]

Mencabut Mandat

“Mandat” adalah kata yang banyak muncul dalam perbincangan politik belakangan ini. Popularitasnya meroket setelah sejumlah tokoh mengorganisasi Gerakan Mencabut Mandat, dan Presiden – melalui juru bicaranya – menyebut gerakan itu inskonstitutional.

Apakah sesungguhnya “mandat” itu? Bisakah ia diberikan melalui pemilu lalu dicabut pemberinya tanpa melalui mekanisme yang sama? Benarkah gerakan mencabut mandat adalah tindakan inkonstitusional?

Mandat sebagai Pinjaman

Secara etimologis, mandat berasal dari kata mandare (Latin) yang bermakna kurang lebih memerintahkan atau berkomitmen atau memegang kepercayaan. Melalui tradisi politik Inggris abad ke-17, mandat lalu diberi pemaknaan lebih spesifik sebagai pemberian kewenangan dari rakyat kepada pemerintah untuk menjalankan kebijakan tertentu.

Dalam praktik modern, mandat terkait dengan dua aspek yang berjalin kelindan: figur pejabat publik dan kebijakan publik. Ketika seorang pejabat terpilih, ia tak diberi cek kosong oleh pemilihnya. Mandat yang diterima meliputi pemilihan dirinya sekaligus amanat untuk menjalankan kebijakan yang telah dijanjikan.

Dalam kerangka inilah, dalam studinya mengenai pemilihan-pemilihan Presiden di Amerika Latin, Susan C. Stokes (Mandates and Democracy, 2001) mendefinisikan mandat sebagai “harapan yang dipatok oleh para politisi ketika berkampanye mengenai tindakan-tindakan yang mereka akan ambil jika memenangkan pemilu.”

Maka, setiap mandat sesungguhnya bercatatan kaki. Sang pejabat publik terpilih tak diberi mandat untuk bekerja semaunya, melainkan terikat kesepakatan-virtual dengan pemilihnya untuk menjalankan rencana kerja yang ia sudah janjikan selama kampanye. Mandat pun cedera manakala janji diingkari.

Dalam hubungan itulah, sejumlah peneliti – seperti Susan C. Stokes (2001), Melissa S. Williams (1998) atau Stephen Macedo (1999) – memosisikan mandat sebagai sesuatu yang dinamis, tidak statis. Meski diberikan, kepemilikan mandat tak dipindahkan dari pemilih kepada pejabat publik terpilih. Ia hanya dipinjamkan. Mandat yang diberikan bisa dicabut atau diminta kembali.

Dua Paham

Demokrasi modern menyediakan setidaknya dua mekanisme baku pemberian mandat: pemilu dan referendum. Untuk memilih jabatan-jabatan publik tertentu, dari kepala negara dan kepala pemerintahan hingga jabatan-jabatan politik terendah, pemilu diselenggarakan secara berkala. Sementara untuk meminta pandangan masyarakat mengenai isu-isu kebijakan tertentu, referendum biasanya diadakan.

Kapan dan melalui mekanisme apakah mandat bisa dicabut? Haruskah pencabutan mandat menunggu pemilu? Kalangan ilmuwan politik terpecah dalam dua paham dalam menjawabnya.

Penganut demokrasi liberal percaya, tiap warga negara yang hendak mencabut mandat yang sudah diberikannya harus bersabar menunggu pemilu berikut. Untuk tiap pertanyaan standar, “Apa yang mesti warga negara kerjakan untuk menghukum pejabat yang berkhianat pada janjinya?,” jawaban standar: “Tunggu pemilu berikut.”

George W. Bush berkali-kali menggunakan paham itu untuk menjawab demonstran penentangnya. Saat demonstrasi antiperang Irak kian marak pada akhir termin pertama pemerintahannya, Bush menyatakan, “Mengikuti kemauan para demonstran adalah seperti membuat kebijakan hanya berdasarkan sebuah focus group discussion.” Setelah terpilih kembali untuk termin kedua, Bush menggarisbawahi, eksplisit maupun implisit, penentangnya memang keliru dan layak diabaikan.

Sejumlah peneliti – antara lain Benjamin R. Barber (Strong Democracy, 1984) –menilai mekanisme standar itu sebagai cacat demokrasi liberal yang harus diatasi. Menurut mereka, pemilu bukan akhir pekerjaan politik seorang warga negara, tetapi awal. Seusai pemilu, warga negara tidak berlibur sambil menunggu datangnya hari pencoblosan berikut. Di antara dua pemilu, tiap warga negara dituntut menjalankan partisipasinya.

Banyak nama disematkan untuk model demokrasi yang memperbaharui konsep awal demokrasi liberal ini: demokrasi yang kuat, demokrasi partisipatoris, demokrasi deliberatif, dan lain-lain. Namun, intinya sama: pemilu hanyalah salah satu dari tonggak penting pemberian dan pemeliharaan mandat para pejabat publik. Pemilu hanya mengurusi “pembentukan kekuasaan”. Di luar itu, warga negara mesti diberi akses untuk terlibat dalam “penggunaan” dan “evaluasi kerja” kekuasaan.

Maka diajukan sejumlah mekanisme di luar pemilu dan referendum untuk membuka akses itu: demonstrasi, kontak politik langsung dengan pejabat publik, petisi, keterwakilan khusus, peradilan khusus pejabat publik, dan lain-lain. Dulu, sebagian dari mekanisme ini dikategorikan “non-konvensional”. Saat ini, sejalan dengan makin berkembang dan diterimanya gagasan-gagasan Barber dan kawan-kawan oleh banyak negara demokrasi, mekanisme itu sudah dipandang “konvensional”.

Salah Kaprah

Setelah sejumlah tokoh dan massa melakukan Gerakan Mencabut Mandat pekan lalu, pemerintah bereaksi dengan mengatakan demokrasi tak mengenal tata cara pencabutan mandat semacam itu. Sikap pemerintah ini mengidap persoalan. Sikap ini hanya menimbang satu pandangan politik yang tersedia dan mengabaikan pandangan lain.

Selain itu, pemerintah terlampau sensitif menghadapi “gerakan biasa” semacam itu. Karena surplus sensitivitas ini, pemerintah tak mampu membedakan dua fase dalam proses pencabutan mandat.

Dalam fase politik informal, dengan cara-cara beradab, siapa pun bisa mengajukan pencabutan mandat. Mencabut mandat adalah hak politik tiap orang yang menjadi bagian paket hubungan mandat antara dirinya dan pejabat publik.

Tentu saja dibutuhkan fase politik formal untuk mewujudkan tuntutan itu. Pemilu adalah formalisasi berkala yang paling sahih, tapi bukan satu-satunya. Mekanisme non-pemilu yang paling baku adalah pemecatan pejabat publik (dengan syarat-syarat politik dan hukum tertentu) melalui lembaga perwakilan. Ada mekanisme lain. Dalam konstitusi Thailand, yang kini sudah diamandemen junta militer, sekadar contoh, formalisasi bisa dilakukan melalui 50.000 orang yang lalu ditindaklanjuti mekanisme peradilan satu tingkat.

Konstitusi dan aturan perundang-undangan Indonesia sendiri belum mengatur mekanisme-mekanisme demokrasi partisipatoris semacam itu. Pembahasan paket UU Politik yang akan dimulai beberapa bulan ke depan selayaknya ikut menimbang dan mengatasi kekosongan ini.

Terlepas dari kekosongan aturan, adalah salah kaprah menilai aneka gerakan mencabut mandat – dalam bentuk-bentuknya beradab seperti dilakukan pada peringatan Malari pekan lalu – sebagai inkonstitusional. Tak ada pencederaan konstitusi dalam aktivitas atau gerakan semacam itu. Sebaliknya, akses yang terbuka bagi warga negara untuk menyuarakan aspirasinya dijamin tegas oleh konstitusi kita.

Diharapkan kesimpangsiuran perdebatan publik tentang ini mengingatkan (pemerintah maupun masyarakat), kita adalah pelajar pemula demokrasi yang tak boleh berhenti dan cepat letih belajar. Bukankah satu-satunya jalan mempelajari demokrasi adalah mempraktikkannya? Bukankah cara belajar terbaik adalah belajar dari kekeliruan?

Membangunkan Partai-Partai

Sebuah kabar panas berhembus di penghujung Juli lalu. Mahkamah Konstitusi membolehkan calon perseorangan mengajukan diri atau diajukan menjadi calon kepala daerah.

Keputusan itu disambut gempita oleh dua kubu yang berseberangan. Para pendukung keputusan itu serta merta terlibat euforia. Mereka memandangnya seolah angin surga lantaran membuka peluang bagi munculnya kandidat lebih berkualitas dan layak pilih, menjadi jalan keluar dari ketidakmampuan partai-partai mengelola mandat dan perwakilan politik, dan membersihkan pilkada dari praktik monopoli partai beserta ekses-eksesnya, termasuk politik uang.

Mereka yang cenderung resisten segera memasang “jebakan”. Orang partai dalam pemerintahan dan partai-partai dalam lembaga legislatif bersepakat dengan sigap bahwa keputusan itu mesti diimplementasikan lewat amandemen UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk keperluan itu – inilah jebakannya – dipasang syarat pengajuan calon perseorangan yang tak main-main: didukung setidaknya oleh 15 persen dari jumlah penduduk berhak pilih!

Maka, kedua kubu itu mengidap persoalan serupa. Mereka yang mendukung cenderung terlalu romantis memandang kandidat perseorangan. Seolah-olah, kandidat partai adalah penjahat, sementara kandidat perseorangan adalah malaikat. Di pihak lain, kalangan partai yang resisten memasang kuda-kuda berlebihan. Mereka tak membuka pintu, tapi mempesilakan kandidat perseorangan masuk lewat lubang kunci. Kedua kubu itu pun sama-sama gagal memosisikan diskursus kandidat perseorangan dalam konteks sejarahnya yang khas.

Konteks

Diskursus kandidat perseorangan dibentuk oleh proses dan hasil demokratisasi Indonesia yang khas selama lebih dari sewindu. Demokratisasi hadir sebagai dua sisi dari satu keping mata uang. Di satu sisi, demokratisasi telah menghadirkan kebebasan, memfasilitasi perluasan (bahkan ledakan) partisipasi, dan menyuburkan kompetisi. Pada sisinya yang lain, demokratisasi sejauh ini gagal menegakkan akuntabilitas, mandat dan keterwakilan politik.

Maka, yang sejauh ini terbangun adalah, meminjam istilah Guillermo O’Donnell, “demokrasi delegatif”. Orang banyak terlibat dalam prosedur-prosedur pokok demokrasi tetapi produk yang dihasilkannya tak mengabdi pada kepentingan mereka. Di hadapan mereka, demokrasi hadir sebagai “ongkos” bukan “keuntungan”. Para pejabat publik -- yang berkhianat pada merekalah – yang memetik keuntungan itu.

Penyokong penting model demokrasi ini adalah “partai-partai mengambang” yang tak punya identitas politik dan ideologi dan tak mau (sekaligus tak mampu) membentuk dan memelihara konsituen. Dalam konteks sistem kepartaian kita yang lemah dan terfragmentasi, pertukaran politik antarpartai pun semata-mata berbasiskan pragmatisme akut.

Rangkaian pilkada sejak 2005 adalah penegasan fakta-fakta itu. Partai memonopoli saluran politik. Bolong-bolong dalam aturan dan mekanisme yang tersedia dipakai partai untuk memetik rente ekonomi. Politik uang berkembang tak terkendali. Pemerintahan hasil pilkada hampir selalu mengidap penyakit gagal-mandat, gagal-akuntabilitas dan gagal-keterwakilan.

Maka, saluran alternatif di luar partai pun memang selayaknya disediakan. Dalam konteks inilah kehadiran kandidat independen selayaknya diletakkan. Kehadiran mereka menjadi penting untuk memainkan fungsi ganda.

Di satu sisi, peluang partisipasi bagi warga negara dalam arena politik potensial diperluas dan ditingkatkan kualitasnya oleh mekanisme ini. Warga negara diberi saluran alternatif di luar partai yang dalam umumnya praktik demokrasi dikenali sebagai saluran pencalonan non-partisan (non-partisan candidacy) atau jalur pencalonan independen (independent candidacy) atau kanal pencalonan non-partai (non-party candidacy).

Disisi lain, mekanisme pencalonan perseorangan itu berpotensi menguatkan sistem kepartaian serta membangunkan partai-partai, dari luar. Masa-masa monopoli politik partai berakhir. Partai-partai dibangunkan dari tidur lelap mereka. Partai didesak untuk menata diri dan tak sekadar memanfaatkan atmosfir pragmatisme dalam sistem kepartaian yang lemah dan terfragmentasi.

Politisi Mengambang

Tetapi, tunggu dulu. Persoalan tak selesai di situ. Sumber-sumber bagi pembusukan demokrasi bukan saja tersedia dari dalam partai, melainkan juga dari luar itu., Pun, partai-partai mengambang bukanlah biang keladi satu-satunya dalam pembentukan demokrasi delegatif.

Demokrasi delegatif – yang mementingkan kebebasan-partisipasi-kompetisi sekaligus mengabakan mandat-akuntabilitas-keterwakilan – dibentuk oleh setidaknya lima faktor: (1) para aktor yang gagal menyeleraskan retorika dengan praktik demokrasi, (2) aturan yang tidak punya kapasitas untuk membuat regulasi yang menyeluruh, tuntas dan saling sokong, (3) kegagalan menyeimbangkan kegemaran membuat institusi-istitusi demokratis dengan ketekunan memperkuatnya, (4) kegagalan membangun sintesa di antara aktor, aturan dan institusi itu serta menjadikannya sebagai mekanisme kerja yang terpelihara, dan (5) kebelumberhasilan membangun publik yang proaktif dan selalu terjaga.

Karena itu, kehadiran calon perseorangan tak akan serta merta menyehatkan pilkada (atau pilpres kelak). Tanpa perbaikan sejumlah aturan, sekadar misal, para kandidat independen tak bisa lepas dari jebakan (dan “kenikmatan”) politik uang, pencederaan janji, pelecehan mandat, ketidakbersihan pemerintahan, dan pengembangbiakan korupsi.

Dalam praktiknya, kehadiran kandidat independen tanpa perbaikan yang serius di sisi aktor, aturan, institusi, mekanisme dan publik justru berpotensi meluaskan dan menguatkan demokrasi delegatif. Para kandidat independen itu akan menjadi “politisi mengambang” yang sama bermasalahnya dengan partai-partai mengambang.

Walhasil, untuk membuat keputusan Mahkamah Konstitusi benar-benar bersejarah, kita sekarang dituntut untuk punya kerelaan merombak banyak hal yang selama ini menguatkan demokrasi delegatif. Apakah partai-partai yang sudah menjadi “pemenang” saat ini punya kerelaan itu? Inilah justru pertanyaan terbesarnya.

"Kohabitasi" Yudhoyono-Kalla

Dalam silaturahmi nasional anggota legislatif Partai Demokrat se-Indonesia di Jakarta akhir minggu lalu, Muhammad Jusuf Kalla membuat sebuah catatan yang tak biasa. Ia mengingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mewujudkan janji-janjinya jika ingin kembali dipilih dalam Pemilu 2009.

Sebagai pejabat yang sedang memerintah (incumbent), menurut Kalla, tak ada pilihan lain bagi Yudhoyono selain membuktikan bahwa ia “telah melakukan” berbagai hal, bukan lagi sekadar membeberkan “apa yang akan dilakukan”. Bahkan Kalla menegaskan, jika tidak, “Habislah SBY. Setelah itu, habis juga Partai Demokrat. Jadi akan sama-sama habis. Supaya sama-sama tidak habis, harus diwujudkan semua janji agar ada kata ’telah’." (Kompas, 4/3/2007).

Kalla juga menegaskan bahwa kebersamaan Golkar dan Yudhoyono (serta Partai Demokrat) dalam pemerintahan tidak mesti menutup kemungkinan bagi dirinya dan Golkar untuk mengkritik. Menurutnya, kritik obyektif seperti sikap yang diambil Partai Golkar kepada pemerintah adalah bagian penting dalam demokrasi.

Bagaimanakah selayaknya kita memahami peringatan Kalla itu? Meminjam Tajuk Rencana Kompas (5/3/2007), ”sinyal politik” apakah yang terkirimkan melalui pernyataan itu? Bagaimana kedua pemimpin selayaknya menyikapi dan menjalani ”kebersamaan dalam perbedaan” mereka?

Persoalan Pelik Kohabitasi

Peringatan Kalla tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari satu rangkaian adegan yang sudah tergelar sejak Yudhoyono-Kalla memenangkan pemilu Presiden-Wapres langsung yang pertama hampir tiga tahun lalu. Keseluruhan adegan ini bisa kita beri nama ”kohabitasi a la Indonesia.”

Kohabitasi biasanya ditemukan dalam praktik semi-presidensialisme semacam di Perancis atau Finlandia. Kohabitasi terjadi manakala Presiden (yang memiliki legitimasi kuat karena dipilih langsung melalui pemilu) dan Perdana Menteri (yang mengelola pemerintahan sehari-hari berdasarkan mandat yang diterima via pemilu legislatif) berasal dari dua partai yang berbeda. Kedua pemimpin pun harus saling menyesuaikan diri dan orientasi mereka untuk membuat sistem politik bekerja secara layak. Kohabitasi pun mesti dijalani sekaligus disiasati.

Di Indonesia, kohabitasi tak terjadi dalam hubungan kepala negara vis a vis kepala pemerintahan semacam itu. Kohabitasi a la Indonesia terjadi dalam konteks perbedaan asal dan postur partai Presiden dan Wapres, sebagaimana terjadi dalam kasus Yudhoyono dan Kalla. Dalam keadaan ini, mau tak mau terbangunlah hubungan segiempat: Yudhoyono-Partai Demokrat-Kalla-Partai Golkar.

Dalam satu termin pemerintahan, kohabitasi a la Indonesia ini akan menjalani setidaknya tiga fase hubungan: konsolidasi di awal masa pemerintahan, pemantapan selepas konsolidasi, dan akhirnya dinamikasi dan kenaikan ketegangan di akhir masa pemerintahan ketika pemilu berikutnya sudah mesti dijelang.

Sudah lebih dari dua tahun (2004-2006) waktu dihabiskan oleh Yudhoyono-Kalla untuk mengkonsolidasikan diri. Semestinya, di tahun ini, hubungan keduanya beranjak ke fase pemantapan yang diisi oleh kerja-kerja lebih produktif dan efektif dalam pemerintahan. Dalam kaitan ini, sudah sewajarnya jika kedua pemimpin saling mengingatkan bahwa masa pelipatgandaan kerja sudah selayaknya dimulai. Pembuktian dan perwujudan janji-janji sudah tak bisa ditunda lagi.

Kalla rupanya menyadari benar soal itu. Sebetulnya, di akhir tahun lalu, dalam peringatan ulang tahun kantor berita Antara, Yudhoyono pun sudah membuat pernyataan dengan bobot serupa. Tetapi, waktu sesungguhnya tak terlalu berpihak pada mereka. Sebab, waktu yang tersedia tersedia untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas pemerintahan itu tak lagi panjang dan lapang.

Dua tahun yang terbentang di depan (2008-2009), bukanlah masa yang bersahabat bagi Yudhoyono-Kalla untuk bekerja secara leluasa. Di masa ini, politik kita sudah diharu biru oleh arus mudik politisi ke haribaan partai masing-masing. Tanpa kecuali, semua partai (termasuk Partai Demokrat dan Partai Golkar) akan memusatkan energi dan kerja mereka pada pemenangan pemilu legislatif dan presiden 2009.

Itulah masa di mana kohabitasi Yudhoyono-Kalla justru akan menghadapi tantangan dan ancaman terberatnya. Keduanya akan bekerja dan berkeliling Indonesia bukan lagi sekadar dalam jabatan formal mereka sebagai presiden dan wapres tetapi juga sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dan Ketua Umum Partai Golkar. Keduanya akan diuji oleh banyak tikungan dan kemungkinan persimpangan jalan.

Pada titik inilah kita bertemu dengan persoalan krusial kohabitasi a la Indonesia. Kohabitasi justru akan dirundung masalah paling pelik pada saat dituntut untuk bisa bekerja paling efektif. Ini pula ujian terbesar dan terberat bagi kelayakan Yudhoyono-Kalla.

Menyiasati ”Formula 2-1-2”

Paparan di atas sekaligus menggarisbawahi betapa pemerintahan Yudhoyono-Kalla pada akhirnya mesti bekerja dalam ”formula 2-1-2” yang berbahaya. Masa dua tahun pertama dihabiskan oleh keduanya untuk mengkonsolidasikan pemerintahan – sebuah upaya konsolidasi yang sesungguhnya terlalu berlarut-larut. Lalu, dua tahun di akhir pemerintahan harus direlakan sebagai ajang dinamisasi politik menjelang pemilu berikutnya. Dalam dua tahun ini, konsentrasi semua pejabat publik akan terpecah pada urusan pemerintahan dan pemenangan kembali partai dan atau dirinya. Praktis hanya ada satu tahun, yang terjepit di antara dua tahun di awal dan di akhir itu, yang bisa digunakan pemerintah untuk bekerja secara leluasa.

Dalam konteks itu, salah satu tantangan terbesar pemerintahan Yudhoyono-Kalla saat ini, adalah menyiasati ”formula 2-1-2” itu dan keluar dari jebakannya. Setelah melakukan konsolidasi yang terlalu berlarut-larut, semestinya saat ini pemerintah melipatgandakan upaya dna memobilisasikan semua sumber daya untuk membuktikan bahwa mereka tak hanya pandai memberi janji tetapi juga bukti.

Tak ada pilihan lain, menurut hemat saya, selain memanfaatkan sebaik mungkin tahun 2007 yang penuh keleluasaan ini untuk menambah panjang daftar kata ”telah” untuk menggantikan kata ”akan” yang sudah banyak bertebaran. Lalu, di dua tahun depan, Yudhoyono-Kalla dituntut mampu keluar dari sebuah dilema: mengelola pemerintahan secara efektif dan membesarkan postur diri dan partai masing-masing.

Maka, peringatan Kalla yang disampaikan Jumat pekan lalu adalah sebuah khotbah yang tepat waktu dan tepat sasaran. Tetapi, ”khotbah Jumat” ini sesungguhnya bukan hanya tertuju ke Yudhoyono, melainkan juga terarah ke alamat sang pengkhotbah.