Selasa, 09 Oktober 2007

Kohabitasi a la Indonesia

Dalam penggunaan sehari-hari “cohabitation” berarti menjalani hidup bersama sebelum atau tanpa nikah. Ketika diadopsi oleh kamus Ilmu Politik, istilah ini memperoleh pemaknaan yang berbeda. Cohabitation biasa digunakan untuk menggambarkan sebuah keadaan dalam semi-presendialisme (seperti yang dipraktikkan Perancis dan Finlandia) ketika Presiden dan Perdana Menteri berasal dari dua partai yang berbeda.

Karena orientasi dan terkadang ideologi partai keduanya berbeda, maka kepala negara dan kepala pemerintahan mesti saling menyesuaikan diri untuk bisa saling sokong. Tak jarang, dalam isu-isu tertentu, keduanya berbeda, bersitegang dan berkonflik. Cohabitation pun menjadi tantangan sekaligus bahaya.

Berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen, Indonesia cenderung pada presidensialisme. Sekalipun demikian, sesungguhnya tak terlalu tegas tipe eksekutif mana yang sejatinya dipraktikkan. Sekalipun pemerintah tak bergantung pada parlemen, Indonesia tidak mempraktikkan presidensialisme murni karena legislatif sangat berkuasa. Sebaliknya, sekalipun perlemen begitu berkuasa, Indonesia jelas tak mempraktikkan parlementarianisme.

Yang sudah jelas, Indonesia tak mempraktikkan semi-presidensialisme. Namun demikian, politik Indonesia ternyata tak terbebas dari bahaya cohabitation. Pemilu Presiden langsung 2004 telah memfasilitasi terbangunnya the Indonesian “cohabitation”.

Institutional arrangement yang disepakati melalui Paket UU Politik telah mendorong koalisi antarpartai (baik formal maupun informal) dalam Pemilu Presiden 2004. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Muhammad Jusuf Kalla adalah produk dari koalisi semacam ini.

Pemerintahan Yudhoyono-Kalla pun terbangun di tengah komposisi politik yang khas. Sebagai kandidat keduanya disokong oleh koalisi empat partai: Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangsaan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan kemudian Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Setelah memenangi Pemilu dan membentuk Kabinet Indonesia Bersatu, koalisi membesar dengan melibatkan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bintang Reformasi (PBR), dan Partai Pelopor. Keberhasilan Kalla merebut kursi Ketua Umum Golkar di awal 2005, memperkuat koalisi ini.

Pemerintah pun punya kaki yang besar dan kuat dalam lembaga legislatif. Kesepuluh partai yang terwakili dalam Kabinet menguasai 420 (76,4 persen) kursi DPR. Sementara Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) dan lima partai kecil lain, yang berada di luar pemerintahan, hanya menguasai 130 (23,6 persen) kursi DPR.

Kebijakan dan langkah pemerintah pun teramankan oleh koalisi besar dalam legislatif. Tapi, ini hanya setengah penyelesaian persoalan. Setengah persoalan lainnya adalah “kohabitasi dalam kepemimpinan eksekutif”. Presiden dan Wakil Presiden berasal dari dua partai yang berbeda, yakni Partai Demokrat (56 atau 10,2 persen kursi DPR) dan Partai Golkar (127 atau 23,1 persen).

Konstitusi sesungguhnya tak memosisikan Wapres sebagai entitas atau institusi yang terpisah dengan Presiden. Pasal 4 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen bahkan menyebut Wakil Presiden sebagai pembantu Presiden. Tetapi, dalam praktik politik, Wapres Kalla memiliki dua modal politik untuk tak begitu saja melebur ke dalam atau terbawahi oleh lembaga kepresidenan.

Pertama, Wapres Kalla dipilih secara langsung sebagai satu paket pilihan dengan Presiden Yudhoyono. Wapres dan Presiden pun punya bobot politik yang kurang lebih setara. Setidaknya, Wapres (dan pendukungnya) memiliki argumen generik, “Jika tanpa Kalla, siapa yang bisa menjamin Yudhoyono akan mendulang nyaris 62 persen suara pemilih?”

Kedua, setelah (atas restu Presiden) memenangkan kursi Ketua Umum Partai Golkar, Kalla menjadi penting terutama bukan sebagai “sosok personal” melainkan sebagai “figur institusional”. Sang Wapres adalah pengendali partai terbesar dengan kursi tergemuk dalam parlemen.

Maka, terbangunlah hubungan khas Yudhoyono-Kalla. Bagi Yudhoyono, Kalla adalah pedang bermata dua. Ujungnya yang satu bisa dipergunakan Yudhoyono untuk membunuh oposisi atas pemerintahannya. Tapi, ujungnya yang lain menghadap persis ke jantungnya. Bagi Yudhoyono, Kalla adalah berkah yang berpotensi menjadi musibah. Keduanya adalah duet yang potensial menjadi duel.

Dalam komposisi inilah terbentuk the Indonesian “cohabitation.” Dibandingkan yang biasa terbangun dalam semi-presidensialisme, cohabitation a la Indonesia ini berbeda setidaknya dalam tiga hal.

Pertama, dalam semi-presidensialisme, cohabitation biasanya jadi masalah di awal, ketika salah satu pihak (kepala negara atau kepala pemerintahan) baru saja merebut kursinya dan mesti menjalani tahapan konsolidasi politik. Sejalan dengan waktu, bahaya cohabitation cenderung mengecil karena saling pengertian dan titik temu sudah semakin tercapai.

Berbeda dengan itu, bahaya the Indonesian “cohabitation” justru membesar ketika pemerintahan semakin mendekati akhir. Di masa-masa awal, kedua pemimpin (Presiden dan Wapres) justru menjalani bulan madu, berusaha saling memahami, dan berduet mengkonsolidasikan pemerintahan. Titik temu pun lebih mudah dibangun di antara keduanya. Tetapi, ketika pemilu berikutnya makin mendekat, ketegangan dan konflik justru lebih potensial mengemuka. Titik pecah potensial menenggelamkan titik temu.

Kedua, dalam semi-presidensialisme yang sudah mapan (semacam Perancis dan Finlandia) cohabitation dan bahaya-bahayanya mudah diprediksi berdasarkan perbedaan orientasi politik dan ideologi partai kedua pemimpin. Cohabitation pun cenderung mudah dikendalikan.

Di Indonesia, partai tak memiliki orientasi politik dan ideologi yang jelas. Orientasi politik partai biasanya hanya tertulis di dokumen resmi tanpa terlihat perwujudannya. Ideologi partai hanya diteriakkan dalam kampanye tetapi tak mudah ditemukan implementasinya. Cohabitation pun menjadi tak berpola dan lebih sulit dikendalikan.

Ketiga, berbeda dengan cohabitation dalam semi-presidensialisme, the Indonesian cohabitation tak punya karakter khusus kecuali sifatnya yang pragmatis. Bahkan, pragmatisme ini kemudian lebih bersifat personal karena banyak tergantung pada pilihan-pilihan pragmatis sang pemimpin.

Menurut hemat saya, menyelesaikan masalah cohabitation adalah salah satu pekerjaan rumah penting dalam demokratisasi Indonesia. Diperlukan institutional arrangement untuk meminimalkan kemungkinan terbangunnya cohabitation yang penuh bahaya ini. Jika arrangement ini tak tersedia, hambatan bagi efektivitas kerja pemerintahan datang pertama-tama bukan dari oposisi, melainkan dari dalam dirinya sendiri.

Tidak ada komentar: