Banjir adalah bukti sebuah kegagalan kolektif. Ia adalah buah dari pohon yang kita tanam sendiri. Ia adalah konsekuensi tata kota dan gaya hidup kita yang abai pada lingkungan.
Banjir adalah bukti ketidakmampuan kolektif kita (hampir tanpa kecuali) dalam memelihara, mengelola dan melakukan konservasi lingkungan. Akibatnya, secara rutin banjir menjenguk kita, merusak harta benda kita, mendatangkan kerugian materi sungguh besar, bahkan mengancam hidup kita dan mengembalikan kita nyaris ke titik nol.
Nyaris setiap kita, tanpa kecuali, punya sumbangan di dalamnya. Tapi, tak ada gunanya saling tuding menyalahkan. Lebih baik mengambil pelajaran dari kesalahan yang kita buat (dan ulang-ulang) sambil belajar dari kasus pengelolaan banjir di tempat lain.
Mengelola Banjir
Musim panas 2002 belum lagi berakhir ketika banjir besar mengepung sebagian kawasan Eropa Timur, Tengah dan Barat. Praha, ibukota Republik Cheko, adalah salah satu tempat yang dilanda banjir sangat parah.
Air sungai Vltava yang membelah kota Praha meluap. Di hari kedua banjir, air meningkat sekitar sembilan meter dari ketinggian normal. Sebagian besar kota Praha pun tergenang. Stasiun-stasiun dan jalur kereta bawah tanah terendam dan tenggelam.
Wilayah Stare Mesto, Nove Mesto dan Mala Strana, salah satu tempat konsentrasi turis di Praha tak luput dari banjir. Perumahan penduduk, perkantoran, universitas dan sekolah serta hotel dan motel dikosongkan. Saya ”beruntung” termasuk salah seorang yang mesti mengalami evakuasi saat itu sehingga bisa melakukan investigasi kecil-kecilan -- sambil menyaksikan dari dekat -- bagaimana pemerintah kota menghadapi banjir.
Ketika debet air sungai Vltava meningkat, dengan sangat cepat, truk-truk berdatangan ke sejumlah lokasi yang paling rawan banjir. Truk-truk ini membawa pasir dan karung goni dengan bentuk yang dirancang khusus sehingga ketika sudah diisi akan bisa saling mengait dan menguatkan satu sama lain. Para petugas pemerintahan kota, sejumlah kecil polisi dan tentara dengan sigap bersatu bekerja bahu membahu dengan penduduk di sekitar lokasi untuk mengisi karung-karung itu dengan pasir. Mereka membangun tanggul-tanggul darurat untuk menghalagi atau membelokkan laju air.
Pemetaan lokasi rawan banjir – yang sudah dilakukan pemerintah kota sejak lama – menjadi panduan kerja itu. Dari mana pasir dan karung-karung yang sudah dirancang khusus itu? Ternyata, di pinggiran kota ada gudang-gudang penyimpanan karung serta tempat-tempat penimbunan pasir. Semuanya untuk mengantisipasi banjir yang biasa melanda kota pada waktu-waktu tertentu.
Selain itu, dari sejak awal kenaikan air sungai, rencana evakuasi sudah diumumkan pemerintah serta kemudian disebarkan melalui pengeras suara yang berkeliling ke sejumlah tempat. Hotel-hotel misalnya, sudah memegang perintah evakuasi sesuai dengan tingkat kerawanan dan kemungkinan kedatangan air ke tempat mereka.
Sementara itu, pejabat-pejabat publik, pusat maupun daerah/kota, mengoptimalkan media massa, terutama televisi untuk memberikan informasi mengenai perkembangan banjir dan fasilitas-fasilitas penyelematan diri yang disediakan pemerintah. Perahu-perahu karet serta tempat-tempat penampungan sementara juga disediakan dengan cepat menggunakan perlengkapan dan logistik yang juga sudah disiapkan jauh hari sebelumnya.
Banjir memang datang dengan sangat cepat. Tapi, pemerintah dan warga kota dengan cekatan berusaha beradu cepat dengannya. Di sana-sini tentu saja ada kepanikan. Tetapi, semuanya sudah diantisipasi dan terpandu sehingga kerusakan dan korban pun bisa diminimalisasi.
Banjir Agustus 2002 di Praha adalah siklus satu abad. Pada tahun 1950-an Praha konon dilanda banjir dengan skala sama besarnya. Banjir-banjir dengan kekerapan yang lebih pendek, tahunan atau beberapa tahunan, juga kadang-kadang terjadi. Pemerintah kota yang sudah terbiasa menghadapi banjir pun terdesak mengambil pelajaran dan menyiapkan antisipasi. Pemerintah dan warga kota membiasakan diri bersahabat dengan banjir.
Atas nama pershabatan dengan banjir inilah, sekadar misal lain, kota Amsterdaam ditata dengan sistem lalu-lintas air yang terkelola dengan baik. Sekalipun ketinggian kota berada di bawah permukaan laut, luapan air laut di saat-saat tertentu tersalurkan melalui tata kota yang bersahabat dengan banjir.
Kegagalan Pemerintah Kota
Banjir, sekali lagi, adalah bukti kesalahan kolektif dalam pengelolaan lingkungan. Tak ada untungnya saling tuding, apalagi menuding satu pihak sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab. Tetapi, harus diakui bahwa tetap ada porsi besar dan signifikan yang semestinya diambil pemerintah kota (dan pemerintah secara umum) untuk mengelola perkara ini secara layak.
Ketika banjir datang berulang di Jakarta, maka selayaknya pemerintah kota memiliki kemampuan antisipasi, pencegahan dan penanganan yang makin baik dan canggih dari waktu ke waktu. Tapi, drama penanganan banjir besar Jakarta hari-hari ini membuktikan bahwa pemerintah (kota) saat ini tak lebih sigap dan cekatan.
Sampai dengan hari ketiga banjir, masih sangat banyak korban yang belum tersentuh bantuan dan fasilitas evakuasi. Di Jakarta, yang anggaran belanja negara berbilang triliun rupiah, fasilitas evakuasi dan penampungan sementara ternyata tak dimiliki pemerintah kota. Tentu kita mengerti, sebagaimana dijelaskan Gubernur, tak mudah menjangkau semua korban. Tapi, tetap terbukti pemerintah kota tak punya antisipasi dan lamban.
Dilihat dari sisi itu, banjir kali ini adalah bukti kegagalan Gubernur Sutiyoso dan Wakil Gubernur Fauzi Bowo serta para pejabat publik di daerah-daerah sekitar Jakarta. Mereka gagal menyiapkan kebijakan dan langkah yang bersahabat dengan banjir.
Dilihat dari perspektif kebijakan publik, penanganan soal banjir Jakarta ditandai oleh kelemahan pemerintah kota dari hulu ke hilir. Pemerintah selama ini tak mengelola secara layak pembentukan agenda, pembuatan kebijakan, pemilihan instrumen kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi dan monitoring kebijakan serta manajemen kebijakan yang ramah lingkungan.
Banjir pun dihadapi seolah kecelakaan biasa yang pasti tiba. Persoalan-persoalan mendasar, termasuk kebutuhan konservasi lingkungan, tak pernah ditangani secara seksama. Sementara itu, secara fisik kota terus dikembangkan dengan rumus komersialisasi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan menghadapi banjir dirancang tapi sambil membuat lebih banyak lagi kebijakan yang bermusuhan dengan kebutuhan konservasi lingkungan.
Menghadapi banjir, pemerintah kota berlaku seperti dokter yang memberi pasiennya obat analgesik. Yang diatasi hanya rasa sakitnya saja sementara sumber-sumber penyakitnya sama sekali tak dibasmi. Maka, Jakarta dan kota-kota di sekitarnya pun gagal belajar dari banjir demi banjir serta tak mampu bersahabat dengannya.
Tentu saja perbaikan dalam aspek ini tak bisa dikerjakan segera seperti membalik telapak tangan. Dibutuhkan waktu panjang untuk bersahabat dengan banjir. Dan bagaimanapun, tak layak menuding pemerintah sebagai biang keladi banjir sendirian. Semua anasir kota – baik sektor publik, privat-swasta, maupun masyarakat – ikut memberikan kontribusi. Gaya hidup sehari-hari kita yang tak ramah lingkungan juga ikut menyumbang.
Semestinya, banjir berskala besar yang melanda kita hari-hari ini bisa mendorong kita melakukan pertobatan kolektif dengan memandang penting pemeliharaan lingkungan. Ya, demikianlah semestinya.
[Kompas, 6 Februari 2007]
Selasa, 09 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar