Kompas, 4 Mei 2007
Salah satu isu paling populer dalam diskusi politik belakangan ini adalah pemanasan global beserta segenap konsekuensinya bagi kehidupan umat manusia. Sebegitu populernya isu ini, berbagai media internasional (Time, Newsweek, Forbes, National Geographic, dan lain-lain) bersepakat secara virtual untuk mengangkatnya sebagai cerita sampul dalam pekan-pekan belakangan.
Demokrasi dan Lingkungan
Diskusi panas tentang pemanasan global menyentak kesadaran banyak kalangan ilmu politik tentang tak sensitif lingkungannya berbagai model demokrasi yang dipraktikkan di dunia saat ini. Bahwa demokrasi telah menelantarkan agenda lingkungan. Demokrasi memang terbukti berhasil memperbaiki tata hidup politik, ekonomi dan sosial di banyak tempat, tapi tak bertuah menghadapi ancaman kerusakan lingkungan beserta segenap dampaknya.
Bahkan, demokrasi liberal – yang menjadi model umum dalam Gelombang Ketiga Demokratisasi saat ini – terbukti tak ramah lingkungan. Demokrasi liberal yang hampir selalu berjodoh dengan ekonomi neoliberal justru menjadi penyumbang terbesar bagi kerusakan lingkungan global.
Bagaimana dengan model-model demokrasi yang lebih lanjut? Berbagai model -- model partisipatif, deliberatif, berorientasi gender, dan model-model “demokrasi yang kuat” (strong democracies) lainnya -- telah diajukan untuk mengoreksi keterbatasan demokrasi liberal. Tetapi, sekalipun mementingkan partisipasi, toleransi, keadilan gender, mandat, keterwakilan dan akuntabilitas, model-model demokrasi yang lebih lanjut itu belum menimbang agenda lingkungan.
Maka, dengan mengecualikan sejumlah kasus – seperti negara-negara Skandinavia atau Eropa Utara – perluasan praktik demokrasi dalam tiga dekade terakhir justru memberi kontribusi pada kenaikan laju kerusakan lingkungan. Seolah-olah, semakin berkembang demokrasi, semakin meluas kerusakan lingkungan.
Pada titik ini, Amerika Serikat (di bawah kepemimpinan George W. Bush) bias menjadi contoh terbaik. Berdasarkan riset lembaga-lembaga pemantau lingkungan global, AS adalah pemberi kontribusi terbesar bagi kemunduran kualitas lingkungan dunia. Dan pemerintah AS adalah salah satu pemerintahan yang paling tak sensitif lingkungan di dunia.
Demokrasi yang Sensitif Lingkungan
Kegagalan demokrasi berdamai dengan lingkungan telah menyadarkan para ilmuwan politik tentang pentingnya menimbang lingkungan hidup dalam kerja demokrasi. Sejak 1980-an berkembanglah teori-teori “demokrasi yang sensitif lingkungan”.
Sejumlah terminologi baru dalam khasanah demokrasi pun diperkenalkan. Misalnya, “ekodemokrasi” (ecodemocracy) dan “demokrasi hijau” (green democracy). Secara umum, yang ditawarkan adalah konsep-konsep pengintegrasian dimensi lingkungan hidup ke dalam proses dan hasil demokrasi. “Sensitivitas lingkungan hidup” diperkenalkan sebagai ukuran tambahan untuk menilai kualitas praktik demokrasi.
Demokrasi pun dihadapkan pada tuntutan-tuntutan baru. Ia dituntut membangun sistem politik yang sensitif lingkungan (green polity). Dituntut juga tersedia dan aktifnya partai-partai sensitif lingkungan yang menjadikan lingkungan hidup sebagai platform utamanya (green parties). Kebijakan pun harus mampu menimbang aspek lingkungan (green policies). Anggaran belanja negara dan daerah harus pula menimbang aspek lingkungan dan memobilisasi dana yang layak bagi pengelolaan lingkungan (green budget). Bahkan, para pejabat publik dan politisi pun dituntut punya sensitivitas lingkungan yang layak (green politicians).
Perkembangan literatur ilmu politik era 1980-an itu berlanjut hingga sekarang. Menurut sejumlah catatan, musim semi perdebatan mengenai perlunya “demokrasi yang sensitif lingkungan” mengalami pasang naik paling mengesankan dalam dekade terakhir.
Pada titik itu, sejumlah kemajuan telah dicapai. Pertama, perdebatan bergeser dari wilayah intelektual dan moral (sebagai isu gerakan-gerakan sosial pro-lingkungan) ke wilayah politik (sebagai bahan perumus kebijakan publik). Kedua, perdebatan bergerak dari pembentukan terminologi dan konsep baru ke arah pengujian kelayakan konsep dalam praktik demokrasi. Ketiga, perdebatan bergerak dari sekadar perumusan model ekodemokrasi ke arah perancangan desain institusi bagi pengintegrasian dimensi lingkungan ke dalam proses dan hasil demokrasi.
Biokrasi
Tentu, perdebatan masih jauh dari selesai. Model demokrasi yang sensitif lingkungan sendiri belum sama sekali menjadi model yang populer dalam praktik demokrasi saat ini. Di tingkat teori dan konsep, gagasan ini juga belum terelaborasi secara penuh. Dalam kerangka ini, buku Political Theory and the Ecological Challenge (2006), dieditori Andrew Dobson dan Robyn Eckersley (keduanya professor ilmu politik), oleh Cambridge University Press, terbit tepat waktu.
Di antara berbagai elaborasi filosofis dan teoritis tentang tantangan ekologi bagi teori-teori demokrasi yang ditulis para sarjana representatif, Terence Ball memperkenalkan gagasan “biokrasi”. Sebagaimana tercermin dari namanya, biokrasi adalah pemerintahan yang menimbang makhluk hidup. Maka, dalam biokrasi, bukan saja manusia yang mesti ditimbang dan diwakili kepentingannya, melainkan juga binatang, ekosistem dan generasi mendatang.
Ball menafsirkan ulang konsep-konsep dasar dalam demokrasi, semisal konsep keterwakilan atau representasi. Sebagaimana tercermin dari rangkaian kata pembentuknya, rerpresentasi (re-present-ation) adalah menghadirkan kembali sesuatu yang sejatinya tak hadir di sekitar pejabat publik yang bertugas mewakili (representator). Dalam konteks ini, posisi binatang, ekosistem dan generasi mendatang sesungguhnya sama belaka dengan publik atau pemilih. Mereka sama-sama tak hadir dan mesti dihadirkan.
Pengeritik gagasan biokrasi boleh jadi berkilah. Manusia harus diwakili karena mereka memilih. Bukankah binatang, ekosistem dan generasi mendatang tak ikut memilih? Mengapa mereka harus diwakili?
Ball dan para penganjur biokrasi punya jawaban standar untuk itu. Bukankah anak-anak di bawah umur, orang tak waras, mereka yang sakit keras, dan penganut golongan putih (yang situasional-temporer maupun yang ideologis-permanen) juga tak ikut memilih? Tapi, bukankah kerja demokrasi tetap harus menimbang mereka?
Biokrasi adalah sebuah gagasan yang relatif baru, apalagi bagi kita di Indonesia. Di sini, kritik Daniel Bell (1999) – yang sesungguhnya ditujukan kepada demokrasi deliberatif –bisa dipinjam. Menyampaikan dan mempertahankan secara elegan sebuah gagasan, tulis Bell, adalah satu tugas. Memikirkan bagaimana mengimplementasikannya adalah tugas berikutnya. Ya, memang masih terbentang tugas untuk membuat biokrasi tak saja layak di level diskusi tapi juga praktis. Kolom ini sendiri barulah sebuah permulaan yang butuh elaborasi lanjutan.
Bagaimanapun, yang sudah jelas akan menjadi tantangan bagi biokrasi di Indonesia adalah defisit politisi berpikir panjang dan jauh ke depan yang kita hadapi sekarang. Bukankah umumnya politisi kita lebih senang memikirkan bagaimana memenangkan pemilihan yang akan datang ketimbang memikirkan bagaimana memperbaiki nasib generasi mendatang?
Selasa, 09 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Saya lebih setuju istilah "Green Birochracy", karena citranya lebih suka menanam dolar daripada menanam pohon untuk nafas rakyatnya sendiri.
Tetapi pasti ada perubahan...(?!), seperti halnya perubahan iklim dunia akibat global warming.
Posting Komentar