Selasa, 09 Oktober 2007

Membangunkan Partai-Partai

Sebuah kabar panas berhembus di penghujung Juli lalu. Mahkamah Konstitusi membolehkan calon perseorangan mengajukan diri atau diajukan menjadi calon kepala daerah.

Keputusan itu disambut gempita oleh dua kubu yang berseberangan. Para pendukung keputusan itu serta merta terlibat euforia. Mereka memandangnya seolah angin surga lantaran membuka peluang bagi munculnya kandidat lebih berkualitas dan layak pilih, menjadi jalan keluar dari ketidakmampuan partai-partai mengelola mandat dan perwakilan politik, dan membersihkan pilkada dari praktik monopoli partai beserta ekses-eksesnya, termasuk politik uang.

Mereka yang cenderung resisten segera memasang “jebakan”. Orang partai dalam pemerintahan dan partai-partai dalam lembaga legislatif bersepakat dengan sigap bahwa keputusan itu mesti diimplementasikan lewat amandemen UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk keperluan itu – inilah jebakannya – dipasang syarat pengajuan calon perseorangan yang tak main-main: didukung setidaknya oleh 15 persen dari jumlah penduduk berhak pilih!

Maka, kedua kubu itu mengidap persoalan serupa. Mereka yang mendukung cenderung terlalu romantis memandang kandidat perseorangan. Seolah-olah, kandidat partai adalah penjahat, sementara kandidat perseorangan adalah malaikat. Di pihak lain, kalangan partai yang resisten memasang kuda-kuda berlebihan. Mereka tak membuka pintu, tapi mempesilakan kandidat perseorangan masuk lewat lubang kunci. Kedua kubu itu pun sama-sama gagal memosisikan diskursus kandidat perseorangan dalam konteks sejarahnya yang khas.

Konteks

Diskursus kandidat perseorangan dibentuk oleh proses dan hasil demokratisasi Indonesia yang khas selama lebih dari sewindu. Demokratisasi hadir sebagai dua sisi dari satu keping mata uang. Di satu sisi, demokratisasi telah menghadirkan kebebasan, memfasilitasi perluasan (bahkan ledakan) partisipasi, dan menyuburkan kompetisi. Pada sisinya yang lain, demokratisasi sejauh ini gagal menegakkan akuntabilitas, mandat dan keterwakilan politik.

Maka, yang sejauh ini terbangun adalah, meminjam istilah Guillermo O’Donnell, “demokrasi delegatif”. Orang banyak terlibat dalam prosedur-prosedur pokok demokrasi tetapi produk yang dihasilkannya tak mengabdi pada kepentingan mereka. Di hadapan mereka, demokrasi hadir sebagai “ongkos” bukan “keuntungan”. Para pejabat publik -- yang berkhianat pada merekalah – yang memetik keuntungan itu.

Penyokong penting model demokrasi ini adalah “partai-partai mengambang” yang tak punya identitas politik dan ideologi dan tak mau (sekaligus tak mampu) membentuk dan memelihara konsituen. Dalam konteks sistem kepartaian kita yang lemah dan terfragmentasi, pertukaran politik antarpartai pun semata-mata berbasiskan pragmatisme akut.

Rangkaian pilkada sejak 2005 adalah penegasan fakta-fakta itu. Partai memonopoli saluran politik. Bolong-bolong dalam aturan dan mekanisme yang tersedia dipakai partai untuk memetik rente ekonomi. Politik uang berkembang tak terkendali. Pemerintahan hasil pilkada hampir selalu mengidap penyakit gagal-mandat, gagal-akuntabilitas dan gagal-keterwakilan.

Maka, saluran alternatif di luar partai pun memang selayaknya disediakan. Dalam konteks inilah kehadiran kandidat independen selayaknya diletakkan. Kehadiran mereka menjadi penting untuk memainkan fungsi ganda.

Di satu sisi, peluang partisipasi bagi warga negara dalam arena politik potensial diperluas dan ditingkatkan kualitasnya oleh mekanisme ini. Warga negara diberi saluran alternatif di luar partai yang dalam umumnya praktik demokrasi dikenali sebagai saluran pencalonan non-partisan (non-partisan candidacy) atau jalur pencalonan independen (independent candidacy) atau kanal pencalonan non-partai (non-party candidacy).

Disisi lain, mekanisme pencalonan perseorangan itu berpotensi menguatkan sistem kepartaian serta membangunkan partai-partai, dari luar. Masa-masa monopoli politik partai berakhir. Partai-partai dibangunkan dari tidur lelap mereka. Partai didesak untuk menata diri dan tak sekadar memanfaatkan atmosfir pragmatisme dalam sistem kepartaian yang lemah dan terfragmentasi.

Politisi Mengambang

Tetapi, tunggu dulu. Persoalan tak selesai di situ. Sumber-sumber bagi pembusukan demokrasi bukan saja tersedia dari dalam partai, melainkan juga dari luar itu., Pun, partai-partai mengambang bukanlah biang keladi satu-satunya dalam pembentukan demokrasi delegatif.

Demokrasi delegatif – yang mementingkan kebebasan-partisipasi-kompetisi sekaligus mengabakan mandat-akuntabilitas-keterwakilan – dibentuk oleh setidaknya lima faktor: (1) para aktor yang gagal menyeleraskan retorika dengan praktik demokrasi, (2) aturan yang tidak punya kapasitas untuk membuat regulasi yang menyeluruh, tuntas dan saling sokong, (3) kegagalan menyeimbangkan kegemaran membuat institusi-istitusi demokratis dengan ketekunan memperkuatnya, (4) kegagalan membangun sintesa di antara aktor, aturan dan institusi itu serta menjadikannya sebagai mekanisme kerja yang terpelihara, dan (5) kebelumberhasilan membangun publik yang proaktif dan selalu terjaga.

Karena itu, kehadiran calon perseorangan tak akan serta merta menyehatkan pilkada (atau pilpres kelak). Tanpa perbaikan sejumlah aturan, sekadar misal, para kandidat independen tak bisa lepas dari jebakan (dan “kenikmatan”) politik uang, pencederaan janji, pelecehan mandat, ketidakbersihan pemerintahan, dan pengembangbiakan korupsi.

Dalam praktiknya, kehadiran kandidat independen tanpa perbaikan yang serius di sisi aktor, aturan, institusi, mekanisme dan publik justru berpotensi meluaskan dan menguatkan demokrasi delegatif. Para kandidat independen itu akan menjadi “politisi mengambang” yang sama bermasalahnya dengan partai-partai mengambang.

Walhasil, untuk membuat keputusan Mahkamah Konstitusi benar-benar bersejarah, kita sekarang dituntut untuk punya kerelaan merombak banyak hal yang selama ini menguatkan demokrasi delegatif. Apakah partai-partai yang sudah menjadi “pemenang” saat ini punya kerelaan itu? Inilah justru pertanyaan terbesarnya.

2 komentar:

Reza Nasrullah mengatakan...

saking mengambangnya partai2, tanpa kecuali, partai berasas islam pun yg notabene harusnya punya pijakan ideologis yg jelas ternyata tetap juga terbawa arus pragmatisme politik. Bahkan ada partai Islam yg menyatakan ke para kadernya bahwa kita harus masuk ke dlm lingkaran kekuasaan agar bisa mengerem laju korupsi, nyatanya gimana? apakah anda punya catatan khusus ttg prestasi rem korupsi ini?

Reza Nasrullah mengatakan...

saking mengambangnya partai2, tanpa kecuali, partai berasas islam pun yg notabene harusnya punya pijakan ideologis yg jelas ternyata tetap juga terbawa arus pragmatisme politik. Bahkan ada partai Islam yg menyatakan ke para kadernya bahwa kita harus masuk ke dlm lingkaran kekuasaan agar bisa mengerem laju korupsi, nyatanya gimana? apakah anda punya catatan khusus ttg prestasi rem korupsi ini?