Selasa, 09 Oktober 2007

"Kohabitasi" Yudhoyono-Kalla

Dalam silaturahmi nasional anggota legislatif Partai Demokrat se-Indonesia di Jakarta akhir minggu lalu, Muhammad Jusuf Kalla membuat sebuah catatan yang tak biasa. Ia mengingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mewujudkan janji-janjinya jika ingin kembali dipilih dalam Pemilu 2009.

Sebagai pejabat yang sedang memerintah (incumbent), menurut Kalla, tak ada pilihan lain bagi Yudhoyono selain membuktikan bahwa ia “telah melakukan” berbagai hal, bukan lagi sekadar membeberkan “apa yang akan dilakukan”. Bahkan Kalla menegaskan, jika tidak, “Habislah SBY. Setelah itu, habis juga Partai Demokrat. Jadi akan sama-sama habis. Supaya sama-sama tidak habis, harus diwujudkan semua janji agar ada kata ’telah’." (Kompas, 4/3/2007).

Kalla juga menegaskan bahwa kebersamaan Golkar dan Yudhoyono (serta Partai Demokrat) dalam pemerintahan tidak mesti menutup kemungkinan bagi dirinya dan Golkar untuk mengkritik. Menurutnya, kritik obyektif seperti sikap yang diambil Partai Golkar kepada pemerintah adalah bagian penting dalam demokrasi.

Bagaimanakah selayaknya kita memahami peringatan Kalla itu? Meminjam Tajuk Rencana Kompas (5/3/2007), ”sinyal politik” apakah yang terkirimkan melalui pernyataan itu? Bagaimana kedua pemimpin selayaknya menyikapi dan menjalani ”kebersamaan dalam perbedaan” mereka?

Persoalan Pelik Kohabitasi

Peringatan Kalla tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari satu rangkaian adegan yang sudah tergelar sejak Yudhoyono-Kalla memenangkan pemilu Presiden-Wapres langsung yang pertama hampir tiga tahun lalu. Keseluruhan adegan ini bisa kita beri nama ”kohabitasi a la Indonesia.”

Kohabitasi biasanya ditemukan dalam praktik semi-presidensialisme semacam di Perancis atau Finlandia. Kohabitasi terjadi manakala Presiden (yang memiliki legitimasi kuat karena dipilih langsung melalui pemilu) dan Perdana Menteri (yang mengelola pemerintahan sehari-hari berdasarkan mandat yang diterima via pemilu legislatif) berasal dari dua partai yang berbeda. Kedua pemimpin pun harus saling menyesuaikan diri dan orientasi mereka untuk membuat sistem politik bekerja secara layak. Kohabitasi pun mesti dijalani sekaligus disiasati.

Di Indonesia, kohabitasi tak terjadi dalam hubungan kepala negara vis a vis kepala pemerintahan semacam itu. Kohabitasi a la Indonesia terjadi dalam konteks perbedaan asal dan postur partai Presiden dan Wapres, sebagaimana terjadi dalam kasus Yudhoyono dan Kalla. Dalam keadaan ini, mau tak mau terbangunlah hubungan segiempat: Yudhoyono-Partai Demokrat-Kalla-Partai Golkar.

Dalam satu termin pemerintahan, kohabitasi a la Indonesia ini akan menjalani setidaknya tiga fase hubungan: konsolidasi di awal masa pemerintahan, pemantapan selepas konsolidasi, dan akhirnya dinamikasi dan kenaikan ketegangan di akhir masa pemerintahan ketika pemilu berikutnya sudah mesti dijelang.

Sudah lebih dari dua tahun (2004-2006) waktu dihabiskan oleh Yudhoyono-Kalla untuk mengkonsolidasikan diri. Semestinya, di tahun ini, hubungan keduanya beranjak ke fase pemantapan yang diisi oleh kerja-kerja lebih produktif dan efektif dalam pemerintahan. Dalam kaitan ini, sudah sewajarnya jika kedua pemimpin saling mengingatkan bahwa masa pelipatgandaan kerja sudah selayaknya dimulai. Pembuktian dan perwujudan janji-janji sudah tak bisa ditunda lagi.

Kalla rupanya menyadari benar soal itu. Sebetulnya, di akhir tahun lalu, dalam peringatan ulang tahun kantor berita Antara, Yudhoyono pun sudah membuat pernyataan dengan bobot serupa. Tetapi, waktu sesungguhnya tak terlalu berpihak pada mereka. Sebab, waktu yang tersedia tersedia untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas pemerintahan itu tak lagi panjang dan lapang.

Dua tahun yang terbentang di depan (2008-2009), bukanlah masa yang bersahabat bagi Yudhoyono-Kalla untuk bekerja secara leluasa. Di masa ini, politik kita sudah diharu biru oleh arus mudik politisi ke haribaan partai masing-masing. Tanpa kecuali, semua partai (termasuk Partai Demokrat dan Partai Golkar) akan memusatkan energi dan kerja mereka pada pemenangan pemilu legislatif dan presiden 2009.

Itulah masa di mana kohabitasi Yudhoyono-Kalla justru akan menghadapi tantangan dan ancaman terberatnya. Keduanya akan bekerja dan berkeliling Indonesia bukan lagi sekadar dalam jabatan formal mereka sebagai presiden dan wapres tetapi juga sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dan Ketua Umum Partai Golkar. Keduanya akan diuji oleh banyak tikungan dan kemungkinan persimpangan jalan.

Pada titik inilah kita bertemu dengan persoalan krusial kohabitasi a la Indonesia. Kohabitasi justru akan dirundung masalah paling pelik pada saat dituntut untuk bisa bekerja paling efektif. Ini pula ujian terbesar dan terberat bagi kelayakan Yudhoyono-Kalla.

Menyiasati ”Formula 2-1-2”

Paparan di atas sekaligus menggarisbawahi betapa pemerintahan Yudhoyono-Kalla pada akhirnya mesti bekerja dalam ”formula 2-1-2” yang berbahaya. Masa dua tahun pertama dihabiskan oleh keduanya untuk mengkonsolidasikan pemerintahan – sebuah upaya konsolidasi yang sesungguhnya terlalu berlarut-larut. Lalu, dua tahun di akhir pemerintahan harus direlakan sebagai ajang dinamisasi politik menjelang pemilu berikutnya. Dalam dua tahun ini, konsentrasi semua pejabat publik akan terpecah pada urusan pemerintahan dan pemenangan kembali partai dan atau dirinya. Praktis hanya ada satu tahun, yang terjepit di antara dua tahun di awal dan di akhir itu, yang bisa digunakan pemerintah untuk bekerja secara leluasa.

Dalam konteks itu, salah satu tantangan terbesar pemerintahan Yudhoyono-Kalla saat ini, adalah menyiasati ”formula 2-1-2” itu dan keluar dari jebakannya. Setelah melakukan konsolidasi yang terlalu berlarut-larut, semestinya saat ini pemerintah melipatgandakan upaya dna memobilisasikan semua sumber daya untuk membuktikan bahwa mereka tak hanya pandai memberi janji tetapi juga bukti.

Tak ada pilihan lain, menurut hemat saya, selain memanfaatkan sebaik mungkin tahun 2007 yang penuh keleluasaan ini untuk menambah panjang daftar kata ”telah” untuk menggantikan kata ”akan” yang sudah banyak bertebaran. Lalu, di dua tahun depan, Yudhoyono-Kalla dituntut mampu keluar dari sebuah dilema: mengelola pemerintahan secara efektif dan membesarkan postur diri dan partai masing-masing.

Maka, peringatan Kalla yang disampaikan Jumat pekan lalu adalah sebuah khotbah yang tepat waktu dan tepat sasaran. Tetapi, ”khotbah Jumat” ini sesungguhnya bukan hanya tertuju ke Yudhoyono, melainkan juga terarah ke alamat sang pengkhotbah.

Tidak ada komentar: