Musim interpelasi telah datang. Interpelasi soal persetujuan Pemerintah atas Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor 1747 tentang Perluasan Sanksi pada Iran masih berproses. Sejumlah anggota DPR mengajukan interpelasi baru berkait penanganan luapan lumpur Lappindo.
Namun, belakangan diskusi paling panas tak berpusar sekadar di substansi interpelasi. Yang justru ramai didiskusikan adalah pro-kontra ketidakhadiran Presiden dalam Sidang Paripurna DPR soal interpelasi itu.
Alih-alih datang dan menjawab sendiri daftar pertanyaan para interpelator, Presiden lebih suka mengutus sejumlah pembantunya untuk mewakilinya. Para interpelator meradang. Presiden, sebagaimana tampak dari penjelasan sang juru bicara, bergeming.
Menurut hemat saya, kehadiran Presiden akan mendatangkan jauh lebih banyak manfaat ketimbang mudharat. Maka, jika saja tersedia peluang untuk memberi nasihat pada Presiden, maka satu-satunya nasihat yang bisa saya berikan adalah, “Datanglah!”
Dengan hadir dalam persidangan DPR, Presiden menegaskan pengertiannya bahwa penggunaan hak interpelasi DPR bukanlah sekadar DPR mengajukan pertanyaan dan pemerintah memberikan jawaban. Interpelasi adalah semacam permohonan akuntabilitas. Dengan kehadirannya, Presiden menegaskan pemahamannya bahwa dalam sistem presidensial yang kita anut, kewajiban menjawab bisa saja didelegasikan, tapi akuntabilitas Presiden tak bisa dipindahtangankan.
Dengan datang, Presiden menggarisbawahi bahwa ia bukan saja pandai menjaga hak prerogatifnya melainkan juga rela menunaikan kewajiban prerogatifnya. Presiden bukan saja mesti pandai menjaga hak-hak yang tak bisa didelegasikan atau diambil alih, semacam membentuk dan mengotak-atik kabinet. Ia juga dituntut punya kerelaan menunaikan kewajiban-kewajiban yang juga tak bisa dipindahtangankan, semacam menegakkan mandat dan akuntabilitas itu.
Maka, dengan datang, Presiden memberikan pembelajaran demokrasi yang bernilai. Tak hanya itu. Kehadiran Presiden juga akan menyeimbangkan posisi DPR-pemerintah dalam diskusi publik soal interpelasi belakangan ini. Tidak selayaknya Presiden membiarkan momentum interpelasi terlalu lama dimiliki dan dikendalikan DPR. Ia seyogianya segera merebut momentum itu.
Presiden memang telah menegaskan bahwa pemerintah merespons interpelasi DPR secara sungguh-sungguh dengan menyiapkan jawaban pemerintah secara saksama. Tetapi, bukan sekadar itu yang diperlukan untuk merebut momentum interpelasi dari kendali DPR. Yang dibutuhkan adalah respons Presiden secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Di sini, dibutuhkan kesigapan mengurus perkara secara tuntas. Cara paling elegan untuk ini adalah kehadiran Presiden secara gagah di persidangan DPR untuk menjelaskan secara gamblang terang benderang sikap dan kebijakan pemerintah yang dipertanyakan DPR.
Tapi, tidakkah itu justru akan menjadi arena pembantaian politik bagi Presiden? Tidakkah Presiden justru akan basah kuyup dihujani interupsi dari segenap penjuru? Tidakkah itu justru akan menjadi drama pembunuhan integritas dan karakter Presiden? Bukankah itu tindakan bunuh diri politik?
Saya tak sepaham. Presiden memang akan menghadapi dua kemungkinan situasi: kisruh tak terkendali atau kisruh terkendali. Dalam suasana kisruh tak terkendali – hujan interupsi tak henti-henti, para interpelator tak bisa menerima penjelasan Presiden sekaligus tak mampu menahan diri, persidangan kacau balau – Presiden justru diuntungkan. Presiden hanya perlu meminta pimpinan sidang untuk menertibkan sidang sehingga tersedia kelayakan bagi Presiden untuk menuntaskan pembicaraan.
Jika pimpinan sidang tak mampu memenuhi permintaan itu, keuntungan politik Presiden pun mengganda: membuktikan ketidakdewasaan para anggota dewan yang terhormat sekaligus membuktikan ketidakmampuan institusi DPR mengelola dirinya secara layak. Jika persidangan tak bisa dilanjutkan karena sebab ini, Presiden tak dalam posisi untuk dipersalahkan.
Manakala yang terjadi adalah kisruh terkendali, situasi juga sama menguntungkannya bagi Presiden. Di satu sisi, kisruh – interupsi dan kekacauan terbatas – itu menggarisbawahi ketidaklayakan para legislator. Di sisi lain, terkendalinya sidang memberi Presiden kesempatan untuk menjelaskan duduk soal secara tuntas dan terang.
Dengan datang, Presiden pun memenangkan momentum. Karena politik sejatinya adalah peperangan memperbutkan momentum, maka kemenangan politik pun (sangat boleh jadi) di tangan Presiden.
Tentu saja, kedatangan Presiden membutuhkan tiga prasyarat utama: kesediaan untuk berada dalam situasi tak nyaman, kerelaan untuk memosisikan lembaga eksekutif (Presiden beserta pemerintahannya) dan legislatif setara, dan keyakinan penuh akan tepatnya langkah dan kebijakan yang telah diambil pemerintah.
Bagaimana halnya jika ketiga prasyarat itu tak tercukupi? Jika demikian halnya, maka dengan terpaksa diskusi mesti kita hentikan di sini.
Senin, 08 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar