Selasa, 09 Oktober 2007

Kekuatan Presiden adalah Kelemahannya

Saya mesti memulai analisis ini dengan sebuah pernyataan yang sangat boleh jadi membingungkan. Kekuatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah kelemahannya. Kelemahan Presiden adalah kekuatannya.

Koalisi dan Kohabitasi

Semenjak terpilih melalui pemilihan langsung pertama dalam sejarah Indonesia di tahun 2004 lalu, Presiden Yudhoyono (dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla) sesungguhnya memiliki basis legitimasi yang kuat. Mereka memenangkan hampir 61 persen suara pemilih.

Karena itu, pemerintahan sejatinya memiliki fondasi politik yang kuat. Namun demikian, kombinasi di antara presidensialisme dan sistem multipartai memaksa siapapun yang terpilih sebagai Presiden dan Wapres untuk bertemu dengan dua tantangan dengan segenap resikonya: koalisi dan kohabitasi.

Koalisi adalah keperluan sekaligus kebutuhan. Setiap Presiden membutuhkan koalisi yang kuat, sekalipun ia sudah memiliki basis dukungan popular dari pemilih. Tanpa koalisi yang kuat, kebijakan-kebijakan pemerintahan bisa saja terhambat oleh resistensi politik dari partai-partai dalam lembaga legislatif. Koalisi diperlukan untuk memelihara hubungan dan saling menukar konsensi politik dengan partai-partai yang kekuatannya terfargmentasi dalam lembaga legislatif.

Tantangan berikutnya adalah kohabitasi. Kohabitasi sejatinya biasa terbangun dalam semi-presidensialisme manakala perdana menteri yang terpilih melalui pemilu legislatif dan presiden yang dipilih secara langsung berasal dari dua partai yang berbeda. Karena itu, keduanya memiliki kecenderungan ideologi atau setidak-tidaknya orientasi kebijakan yang berbeda. Maka kedua belah pihak mau tak mau harus membangun kohabitasi: ”hidup satu rumah” dengan membangun persamaan-persamaan di tengah perbedaan yang mereka miliki.

Sukses kohabitasi akan meningkatkan kapabilitas sistem politik serta pada gilirannya memapankan demokrasi. Gagal kohabitasi bisa memfasilitasi beragam persoalan, dari perkara kecil hingga ke krisis kenegaraan yang serius.

Sistem pemilu presiden yang kita miliki cenderung mendorong para kandidat dan partai untuk memasangkan kandidat presiden dan wapres dari lebih dari satu kekuatan/partai. Persekutuan antarpartai dan kelompok kepentingan pun cenderung tak terhindarkan. Presiden dan wapres terpilih, siapapun mereka, yang berasal dari dua partai berbeda pun dituntut mengkompromikan kepentingan mereka dan partai masing-masing. Kohabitasi menjadi resiko tak terhindarkan.

Begitulah, Presiden Yudhoyono dan Wapres Kalla mesti berhadapan dengan dua tantangan itu dengan segenap resikonya. Dan setelah nyaris dua setengah tahun menjalankan pemerintahan, ternyata kekuatan Presiden adalah kelemahannya dan kelemahan Presiden adalah kekuatannya.

Kekuatan Presiden

Presiden menjadi kuat dalam posisinya sekarang dari ancaman pemecatan formal lembaga legislatif atau dari ancaman resistensi politik partai-partai antara lain karena kelemahan kepemimpinan politik Presiden, terutama menghadapi lembaga legislatif, partai-partai, dan berbagai kelompok kepentingan di seputar pemerintahan.

Presiden selalu terlihat berusaha memuaskan semua pihak. Presiden senantiasa berusaha bersikap baik pada partai-partai untuk melemahkan oposisi politik atas dirinya. Presiden berusaha menjaga hubungan yang manis dengan berbagai kelompok kepentingan yang dipandangnya penting untuk meminimalkan gangguan terhadap pemerintahan. Inilah kelemahan kepemimpinan Presiden, tetapi ternyata kelemahan ini menjadi sumber kekuatannya.

Karena kelemahan itu, Presiden tidak perlu mengalami pecah kongsi dengan kalangan usahawan besar, terutama yang juga menduduki jabatan politik semacam menteri. Pengusaha-pengusaha bermasalah semestinya dihadapi pemerintahan dengan ketegasan dan pemberian sanksi – termasuk jika perlu, dengan pemecatan sang pengusaha dari jabatan politiknya sebagai pembantu Presiden. Dalam praktiknya, Presiden justru cenderung membela mereka. Kelemahan kepemimpinan ini kemudian memperkuat posisi Presiden karena ia tak kehilangan loyalitas politik dan finansial dari kalangan usahawan itu, termasuk untuk menghadapi Pemilu 2009.

Presiden juga semestinya bertindak tegas terhadap semua pembantunya yang yang bermasalah yang berasal dari partai-partai. Tetapi, Presiden tak mau mencederai dukungan dari partai-partai. Karena itu, ia menjaga agar langkah dan kebijakannya senantiasa mengakomodasi kepentingan pragmatis partai-partai. Presiden lemah tetapi justru ini yang menjadi sumber kekuatannya. Dukungan partai terpelihara.

Masyarakat mafhum bahwa ada menteri yang terbelit persoalan hukum – soal yang semestinya ia urusi. Ada menteri yang terbelit persoalan penyelewengan birokrasi atas kekuasaannya mengendalikan superbirokrasi dalam kabinet. Ada menteri yang tak cakap mengelola departemen atau kementeriannya sehingga publik mesti menanggung ekses-ekses mismanajemen kebijakannya. Ada menteri yang memang tak menunjukkan prestasi apapun selama nyaris dua setengah tahun bekerja. Alih-alih bertindak tegas atas mereka, Presiden mempertahankan mereka dan bahkan membelanya dari segenap kritisisme. Karena kelemahan ini, dukungan partai pun terjaga.

Berbeda dengan Presiden Abdurrahman Wahid yang begitu gemar membangun konflik dengan partai-partai, Presiden Yudhoyono sangat senang membikin senang partai-partai. Kelemahan Presiden pun menjadi kekuatannya. Pemerintahannya bertahan dengan oposisi minimal.

Kelemahan Presiden

Tetapi, kekuatan Presiden (yakni kemampuannya mengelola dukungan politik di tingkat elite) sejatinya adalah juga kelemahan terpenting Presiden. Memerintah bukanlah sekadar memelihara dukungan politik dari kelompok kepentingan, politisi dan partai. Memerintah juga merupakan kerja manajemen kebijakan, pengelolaan dukungan publik serta pembuktian kuatnya kepemimpinan.

Memerintah bukanlah sekadar menjaga dukungan politik untuk membikin pemerintahan yang stabil dan terjaga dari berbagai rongrongan politik oposisi. Memerintah adalah juga mengelola kebijakan, membangun kualitas kebijakan, dan membuktikan dampak positif kebijakan itu terhadap hajat hidup orang banyak. Memerintah bukanlah sekadar butuh kecakapan menjaga koalisi, melainkan terutama kepandaian meluaskan implikasi positif dari kepemimpinan terhadap sebanyak mungkin orang yang dipimpin. Kelayakan kepemimpinan tidak diukur dari dampaknya terhadap sang pemimpin dan orang-orang di sekitarnya melainkan dari implikasinya terhadap masyarakat yang lebih luas.

Di situlah letak persoalan terpenting kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Kepandaiannya mengelola dukungan politik mesti dibayar mahal dengan lemahnya manajemen pemerintahan, rendahnya kualitas kebijakan, dan lemahnya kepemimpinan politik. Kekuatan Presiden pun menjadi sumber dari kelemahannya.

”Teori” kekuatan dan kelemahan Presiden ini, menurut saya, bisa menjelaskan sikap dan langkah Presiden di seputar peristiwa politik belakangan ini. Mulai dari isu perombakan kabinet, revisi PP 37 yang berlarut-larut dan tak substantif, pendirian dan anatomi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, skandal yang membelit sejumlah menteri, lemahnya pemerintah dalam kasus Lapindo, serta melorotnya popualitas Presiden berdasarkan hasil survei terakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Pada titik itulah, peringatan Warren Bennis, seorang ahli pembangunan organisasi, kepemimpinan dan perubahan, dalam Why Leaders Can’t Lead (1989), menjadi relevan. ”Pemimpin,” tulis Bennis, ”adalah seseorang yang melakukan sesuatu yang benar. Manajer adalah seseorang yang mengerjakan sesuatu secara benar. Kedua peran itu krusial, tetapi keduanya berbeda secara tegas. Saya sering menemukan seseorang yang berada di posisi puncak yang mengerjakan sesuatu yang salah secara baik.”

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mungkin Pak SBY melihat sendiri dari pemerintahan (alm) Gus Dur, bahwa terobosan, ketegasan, ataupun kegamblangan dalam menjalankan politik kenegaraan justru malah mempersingkat umur pemerintahannya sendiri. Mungkin kurang tertarik dengan status sebagai guru bangsa, bila periode kepresidenannya telah usai. Mungkin juga menilai bahwa masyarakat yang telah memilihnya telah cukup puas dengan praktek komunikasi politiknya yang memang lebih terbuka secara kuantitas dibandingkan dengan para pendahulunya.
Tanpa bermaksud menggurui, mungkin SBY lebih cocok sebagai presiden atas negara yang sudah lebih stabil ekonomi makronya, lebih sedikit korupsinya, dan lebih makmur perut rakyatnya.

(Maaf, Anonim!.)