Selasa, 09 Oktober 2007

Kebijakan Tak Bermartabat

Tanpa diskusi, konsultasi dan sosialisasi layak dengan khalayak, pemerintah menaikkan tarif jalan tol lingkar luar Jakarta, selasa pekan lalu. Sangat mudah diduga, reaksi keras pun datang dari berbagai penjuru. Walhasil, tengah malam nanti, revisi atas kebijakan tarif baru akan diberlakukan. Tak ada jaminan bahwa tarif yang telah direvisi ini pun tak akan beroleh resistensi publik.

Maka, sekali lagi kita menyaksikan betapa pemerintah tak berkemampuan membuat kebijakan yang bermartabat. Apa sajakah konsekuensi dari kebijakan tak bermartabat semacam ini?

Kebijakan Bermartabat

Kebijakan yang bermartabat, pertama-tama, dirumuskan secara seksama dengan menimbang berbagai faktor yang biasanya berjalin kelindan di seputarnya. Dengan kata lain, kebijakan yang bermartabat adalah yang rumusannya komprehensif. Ia tak saja menimbang hasil pragmatis – semacam tambahan perolehan dana bagi anggaran pemerintahan – melainkan juga berbagai aspek hulu hingga hilir, termasuk antisipasi atas resistensi yang mungkin terbangun.

Maka, kebijakan yang bermartabat menimbang keterlibatan publik sebagai bagian penting dalam perumusan, pelaksanaan dan evaluasinya. Kebijakan bermartabat memosisikan publik tak sekadar sebagai objek yang diam tetapi subjek yang mesti menjadi orientasi. Walhasil, sebelum kebijakan bermartabat dikeluarkan, para pejebat publik pun dituntut untuk rela berkomunikasi, berkonsultasi dan bernegosiasi dengan publik. Kebijakan bermartabat memang keluar dari tangan pejabat pembuat kebijakan tetapi sejatinya publik merasa bahwa merekalah pemilik sah kebijakan itu.

Selanjutnya, kebijakan hanya bias disebut sebagai bermartabat manakala diimplementasikan secara terukur dan terorganisasi melalui kerja yang kompeten dan profesional. Dalam kerangka ini, seorang pengambil kebijakan bermartabat tidak bisa mengatakan bahwa kebijakannya sudah sepenuhnya tepat, hanya dengan menunjukkan bahwa rumusan kebijakan itu sudah layak.

Seorang pengambil kebijakan bermartabat tidak bisa mempersalahkan para pelaksana kebijakan itu di lapangan manakala kebijakannya tak bias diimplementasikan secara baik. Bagaimanapun, operasi dari kebijakan adalah bagian dari manajemen kebijakan secara keseluruhan. Kebijakan yang bermartabat ditandai oleh adanya manajemen kebijakan dari hulu hingga ke hilir – dari istana Presiden dan gedung parlemen hingga ke lokasi persoalan – yang terjaga secara profesional dan kompeten.

Tak hanya itu, kebijakan bermartabat tak sekadar mampu melayanai target jangka pendek melainkan menjangkau jauh ke target-target berjangka panjang. Ia bukan hanya mengabdi pada hasil sesaat (results) semacam tambahan pemasukan anggaran untuk menutup kebutuhan program pemerintah. Lebih dari itu, ia mesti pandai mengabdi hasil-hasil yang lebih menyeluruh dalam jangka panjang (outcomes) semacam perbaikan fasilitas dan layanan publik dari waktu ke waktu.

Akhirnya, sebuah kebijakan kita sebut bermartabat manakala secara keseluruhan mengabdi pada prinsip tanggung jawab atau akuntabilitas, mandat, keterwakilan dan keadilan. Sang kebijakan pun selayaknya menjadi menjadi wakil dari kepentingan dan hajat hidup publik. Dengan demikian, kebijakan pun tak lagi mesti berhadapan dengan resistensi mendasar dari khalayak.

Pertimbangan Teknokratis

Tetapi bukan berarti bahwa kebijakan bermartabat adalah yang hanya menimbang aspek popularitas (penerimaan di kalangan umum) belaka. Kebijakan justru kita sebut sebagai bermartabat manakala mampu menggabungkan pertimbangan teknokratis (segala hal teknis dan pragmatis yang menjadi target kebijakan) dengan aspek-aspek populis yang hendak dicapai.

Percuma membuat kebijakan yang populis tapi dengan aspek-aspek teknokratis yang serba terabaikan. Dan sama percumanya membuat kebijakan teknokratis yang berujung pada penolakan publik secara mendasar. Kebijakan bermartabat mengkompromikan kedua kemungkinan itu dengan menggandengkan aspek popularitas dan teknokrasi ke dalam sebuah formula “popularitas-teknokratis”.

Dengan menimbang karakter-karakter di atas, kebijakan kenaikan tarif tol pekan lalu sulit untuk kita sebut sebagai kebijakan bermartabat. Sebaliknya, kebijakan ini justru dilekati karakter yang nyaris sebaliknya. Dalam konteks waktu – Pemilu 2009 yang sudah mendekat – kehadiran kebijakan tak bermartabat semacam ini sejatinya menandai sebuah kesulitan yang dihadapi pemerintah untuk meramu formula popularitas-teknokratis itu.

Di satu sisi, untuk dipandang sukses dalam pengelolaan pemerintahan, pemerintah dituntut untuk mengatasi berbagai persoalan mendesak, termasuk pendanaan berbagai program pokok yang krusial. Pemerintah pun dituntut untuk melakukan beragam cara mobilisasi dana untuk berbagai kebutuhan darurat semacam menutup biaya penyelesaian kasus luapan Lumpur Lapindo, menyelesaikan kisruh keuangan asuransi kesehatan untuk rakyat miskin, dan meningkatkan anggaran pendidikan sesuai tuntutan konstitusi.

Di sisi lain, semakin dekat pemilu semakin terdesak pula pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan populis. Bagi pemerintah di mana pun, masa menjelang pemilu adalah masa menunjukkan kebaikan hati (sepalsu apa pun kebaikan hati itu). Jika tidak, mereka terancam untuk kehilangan dukungan pemilih dan mesti merelakan kekuasan berpindah tangan.

Saya yakin, pemerintah memiliki keinginan kuat untuk meramu formula popularitas-teknokratis itu sebaik mungkin. Namun, pada saat yang sama, saya tak terlalu yakin bahwa keadaan dan waktu ada di pihak mereka. Di tengah grafik popularitas Presiden dan Wakil Presiden yang terus menurun, akumulasi persoalan yang makin menggunung, keterbatasan sumber daya, dan keterbatasan waktu yang tersedia, agak sulit membayangkan pemerintah akan mampu keluar dari jerat dilema yang mengurung mereka.

Dalam kerangka itu, berbagai kekeliruan fatal di seputar kebijakan kenaikan tarif tol sangat boleh jadi merupakan “tanda-tanda zaman” yang tak terlalu bersahabat bagi pemerintah yang bekerja saat ini.

Tidak ada komentar: