Senin, 08 Oktober 2007

Sang Jiran

Agak sulit melupakan pengalaman itu.

Wan Azizah Wan Ismail dan Partai Keadilan Rakyat yang dipimpinnya mengundang Rendra dan saya ke Kuala Lumpur untuk berpartisipasi dalam rapat akbar partai itu. Rendra didaulat membacakan puisi-puisi protes sosialnya. Saya diberi kesempatan berbicara – tepatnya berpidato karena tak ada sesi tanya jawab sesudahnya – tentang “Rakyat, Demokrasi dan Demokratisasi”.

Lebih dari 1.000 orang memenuhi balairung petang itu. Hadirin begitu dermawan menghadiahi siapapun dengan tepuk tangan bergemuruh. Apalagi ketika Wan Azizah, yang suaminya, Datuk Anwar Ibrahim, waktu itu masih mendekam di penjara rezim Mahathir Muhammad, mendapat giliran membuka acara dan dengan tandas mengatakan, “Rezim Mahathir sungguh keliru. Mereka pikir, setelah suami saya dipenjarakan, saya hanyalah seekor cacing yang tak layak dipertimbangkan. Mereka tak menduga bahwa sang cacing dengan cepat berubah menjadi seekor naga.”

Jujur saja, saya menikmati suasana rapat akbar itu. Acara demi acara berlangsung padat dan efisien.Sorak-sorai perjuangan bertalu-talu. Namun, akhirnya perhelatan itu seperti sebuah makan malam dengan makanan penutup yang pahit.

Sepulang dari Kuala Lumpur saya membuka situs barisan muda Partai Keadilan Rakyat yang memuat liputan dan komentar atas rapat akbar itu. Saya membuka komentar-komentar yang masuk ke situs itu dan dengan segera menemukan caci-maki untuk kami, saya dan Rendra, dari sejumlah pengakses situs itu -- tentu saja mereka bukan pendukung Datuk Anwar dan Wan Azizah.

Kalian seperti saudara tua yang mengajak kami untuk hidup susah. Sila makan kebebasan yang kalian banggakan sambil perut lapar tak punya pekerjaan.

Rakyat Malaysia tak mau diajak miskin dan menderita karena racun kata-kata yang kalian bawa ke negeri kami.

Pulanglah ke Indonesia, jangan racuni kami dengan reformasi dan demokrasi yang sudah terbukti menyengsarakan rakyatmu.

Itulah antara lain, seingat saya, komentar yang terpampang di situs itu. Sebuah pencuci mulut tak sedap. Tapi, sesungguhnya ia amat mudah dimengerti. Untuk sebagian, komentar-komentar yang saya sua mewakili suasana batin umumnya orang Malaysia berkaitan dengan kita, orang Indonesia. Bahkan, komentar itu sejatinya merupakan potret yang mewakili wajah dua negeri bertetangga ini.

Krisis ekonomi 1997 mengantarkan Indonesia sebagai pecundang dan Malaysia sebagai pemenang. Strategi ekonomi Orde Baru di bawah Soeharto terbukti gagal menanamkan fondasi ekonomi yang kuat menahan serbuan krisis moneter, ekonomi dan kemudian politik. Terlebih-lebih, Soeharto ternyata mewariskan sistem yang titik tumpunya serba personal, bukan institusional.

Malaysia terbukti lebih kokoh. Alih-alih terjengkang oleh krisis, Malaysia justru dengan cepat melawan pengeroposan ekonomi mereka dengan gaya yang elegan: Menjaga jarak dari IMF dan menolak resep generik yang ditawarkan lembaga ini di mana-mana. Ketika Indonesia makin terpuruk oleh krisis dahsyat itu, Malaysia dengan capat bangkit. Mahathir, dengan segala cacat kekuasaan yang diidapnya, ternyata juga lebih mewariskan sistem yang institusional, bukan personal.

Tapi, daya tahan ekonomi dan demokratisasi ternyata menjadi dua barang yang dipertukarkan. Indonesia dengan mengesankan menjalani demokratisasi tetapi dengan daya tahan ekonomi yang tak juga pulih menguat. Malaysia sebaliknya, daya tahan ekonomi mereka makin mengesankan, tapi proses demokratisasi tertahan tak beroleh pintu masuk leluasa.

Malaysia berjaya secara ekonomi namun dengan prestasi demokrasi yang tertinggal. Indonesia mengesankan dari sisi demokrasi dengan ekonomi yang centang perenang. Celakanya, ketika umumnya kita di Indonesia merasa letih berdemokrasi dan cenderung tak membanggakan jalan demokrasi yang dipilih, umumnya orang Malaysia membanggakan sukses ekonomi mereka sambil memandang demokrasi sebagai potensi gangguan.

Dari balik itu, terbangunlah hubungan bertetangga yang khas. Sebagian orang di Malaysia memandang rendah kita. Mereka sangat mudah menjadi arogan. Sebagian kita gampang marah pada Sang Jiran. Kita gampang murka membabi buta. Konteks inilah yang membayang di balik kisruh pemukulan wasit karate Indonesia oleh polisi Malaysia belakangan ini.

Dalam konteks itu pula, bagi kita, pelampiasan kemarahan berlarut bukanlah sebuah pilihan. Pilihan yang tersedia hanyalah: Segera membenahi diri untuk mendekatkan sukses ekonomi dan sosial ke dalam genggaman. Lalu, kita pandang Sang Jiran dengan pandangan biasa, tanpa nanar atau bara.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

bisa dapat di mana skrip pidato Eep di KL?