Pekan lalu, sejumlah tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar memproklamasikan semacam “Koalisi Kebangsaan Jilid II” di Medan. Sebuah partai oposisi bersekutu dengan partai penyokong pemerintah yang Ketua Umumnya menjabat wakil Presiden dan empat kadernya ikut dalam kabinet. Bagaimana kita memahami koalisi janggal ini?
Sebelum menjawabnya, ada baiknya kita sepakati sejumlah asumsi. Partai tak pernah merupakan sebuah entitas politik homogen. Partai adalah sebuah rumah berpenghuni para politisi dengan orientasi politik majemuk dan kadang-kadang saling cekcok. Karena itu, langkah sejumlah tokoh partai tak bisa selalu dipandang serta merta sebagai “langkah partai”.
Apalagi, Pemilu 2004 juga mengajarkan bahwa tiap partai mengidap tiga lapis otonomi politik. Para pemilih partai dalam pemilu legislatif ternyata relatif otonom dan bisa memilih kandidat Presiden yang tak didukung partai pilihannya. Kepemimpinan partai di tingkat lokal juga relatif otonom vis a vis kepemimpinan nasionalnya dan bisa keluar dari garis partai. Elite nasional partai juga relatif otonom berhadapan dengan para pengurus formal partainya dan bisa saja berbeda bahkan membelot dari keputusan partai yang mereka pandang keliru.
Maka, semakin dekat Pemilu 2009, setiap partai akan dilanda gejala mendua. Di satu sisi, terjadi arus mudik politisi. Sambil bekerja di posnya masing-masing, para politisi partai dalam legislative dan eksekutif makin diharu-biru “mars pemilu” dan kembali ke hariaan partai. Tapi, di sisi lain, kemajemukan dan tiga lapis otonomi dalam partai justru makin menegas.
Di atas dasar asumsi-asumsi itu, tersedia setidaknya lima kemungkinan tafsir atas koalisi janggal PDIP-Golkar. Pertama, kedua partai bisa saja sedang saling menjajagi persekutuan untuk Pemilihan Presiden 2009. Persoalannya, koalisi untuk Pemilu Presiden akan selalu berpusat pada tokoh atau figur yang dijadikan kandidat Presiden dan Wakil Presiden. Maka, agak sulit membayangkan PDIP (yang sudah memiliki Megawati sebagai kandidat Presiden) dan Golkar (kendaraan yang akan diperebutkan sejumlah tokoh termasuk Wapres Muhammad Jusuf Kalla) bisa berkoalisi. Tafsir inipun terlalu pagi dan tergopoh.
Kedua, kedua partai berkoalisi untuk membangun oposisi berjamaah di DPR, terutama dengan memperkuat fungsi pengawasan. Kesepahaman para politisi dari kedua partai dalam mengajukan sejumlah interpelasi belakangan pun bisa ditunjuk sebagai penguat kemungkinan ini.
Persoalannya, kedua partai punya sikap akhir yang berbeda berhadapan dengan pemerintah. PDIP akan memilih beroposisi sampai termin pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla berakhir. Sementara Golkar mau tak mau harus menjaga pemerintahan sampai akhir. Tak masuk akal membayangkan Golkar akan membunuh ketua umumnya sendiri plus empat kader mereka di kabinet. Koalisi ini pun akan kompak dan bergemuruh di awal lalu marapuh dan bersimpang jalan di akhir. Maka, tafsir inipun menjadi lemah.
Ketiga, sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Fraksi PDIP DPR, Tjahjo Kumolo, kedua partai berkoalisi untuk meraih kemenangan bersama dalam pemilihan kepala daerah. Persoalannya, agak sulit membayangkan bahwa koalisi lokal untuk pilkada bisa diformat secara baku oleh partai di tingkat pusat. Rangkaian pilkada 2005-2007 mengajarkan bahwa partai mana saja bisa berkoalisi dengan partai mana pun.
Pragmatisme sesaat dan keunikan situasi lokal membuat “pola koalisi” pilkada tak bisa dibakukan. Satu-satunya pola yang terbangun dalam koalisi ini adalah ketiadaan pola itu. Karena itu, tafsir ini masuk akal tetapi lumayan lemah.
Keempat, kedua partai berkoalisi memperjuangkan agenda-agenda bersama dalam legislasi, terutama berkaitan dengan paket UU Politik yang mulai dibahas di DPR. Sebagai dua partai terbesar, PDIP dan Golkar memang punya banyak titik temu berhadapan dengan partai-partai lain yang lebih kecil. Mereka misalnya, cenderung menaikkan syarat besaran kursi dan suara partai untuk mengajukan pasangan kandidat Presiden dan Wapres. Mereka juga sepaham bahwa jumlah partai harus dibatasi dengan memperberat syarat pembentukan partai baru.
Maka, inilah tafsir yang paling masuk akal. Jika terkonfirmasi, kita bakal menyaksikan adegan ulangan dari drama koalisi sejenis yang terjadi dalam pembahasan paket UU Politik menjelang Pemilu 2004 lalu. Kedua partai bersekutu menyiapkan aturan yang cocok bagi keduanya untuk memelihara peluang mempertahankan besaran suara mereka.
Kelima, sekadar menjajaki penguatan komunikasi politik. Terlepas dari perbedaan dasar di antara keduanya (beroposisi versus ikut memerintah), penguatan komunikasi politik tak akan merugikan siapapun. Koalisi dalam kerangka ini pun bukan hanya masuk akal tetapi juga sejatinya tak terhindarkan.
Lima kemungkinan tafsir itu mengantar kita ke kesimpulan sederhana. Koalisi PDIP-Golkar hanya mungkin menjadi persekutuan terbatas dan ad hoc. Ia mudah dibangun dan mudah pula bubar. Manakala hendak menjangkau agenda politik lebih besar dan mendasar, koalisi ini akan berbentukan dengan titik pecah yang kuat dan titik temu yang lemah.
Dalam kerangka ini, “proklamasi Medan” pun menjadi sebuah upacara yang terlalu mewah untuk langkah politik yang sejatinya sangat biasa. Maka, reaksi masuk akal yang selayaknya disiapkan partai-partai lain adalah bersikap biasa saja. Mengutip mantan Presiden Abdurrahman Wahid, “Gitu aja kok repot.”
Selasa, 09 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar