Drama pertarungan eksekutif dan legislatif adalah salah satu perkembangan baru dalam politik kita sembilan tahun terakhir. Pertarungan berlangsung dari perdebatan panas di dalam ruang sidang sampai dengan peperangan politik tingkat tinggi sebagaimana yang terjadi dalam proses kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid (2001).
Drama itulah yang kembali terhidang hari ini. Jika tak ada aral melintang, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan didampingi Menteri Sekretaris Negara hari ini menyampaikan jawaban Presiden/Pemerintah atas interpelasi yang diajukan DPR berkaitan dengan persetujuan pemerintah atas Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No 1747 tentang Perluasan Sanksi pada Iran.
DPR sesungguhnya meminta Presiden untuk menyampaikan sendiri jawaban itu. Tapi, Presiden menugaskan pembantunya. Ketakhadiran Presiden, sebagaimana diindikasikan oleh reaksi berbagai kalangan DPR (Kompas, 4/6/2007), tampaknya akan memancing suasana panas dalam persidangan hari ini.
Tetapi, terlepas dari itu, pertanyaan lebih substantif yang layak diajukan adalah: Akankah interpelasi ini berkembang menjadi drama yang berklimaks pada mengerasnya ketegangan dan konflik politik tingkat tinggi di antara lembaga eksekutif dan legislatif? Akankah ini menandai dimulainya sebuah perimbangan baru di antara kedua lembaga itu yang ditandai oleh menguatnya oposisi parlementer?
Terus terang, saya meragukannya. Saya tak yakin drama ini akan mencapai klimaks. Sebaliknya, saya menduga drama akan berujung pada antiklimaks. Ketegangan ini akan layu sebelum berkembang menjadi konflik politik besar. Keraguan itu terutama dilatarbelakangi alasan institusional dan alasan individual.
Secara institusional, di dalam lembaga DPR saat ini tersedia ketidakseimbangan yang nyata di antara kekuatan partai politik pendukung versus penentang pemerintah. Sepuluh partai cenderung mendukung pemerintah, sementara enam sisanya memiliki kecenderungan oposisi. Perimbangan kekuatan pendukung vis a vis penentang ini sungguh senjang: 420 kursi (76,4%) pendukung berbanding 130 kursi (23,6%) oposisi.
Ketika perombakan kabinet dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekitar sebulan lalu, komposisi wakil partai dalam kabinet memang mengalami sedikit perubahan. Golkar memperoleh tambahan 1 kursi menteri, PPP kehilangan satu pos, dan PBB kehilangan dua kursi menteri. Karena kedua partai terakhir (yang “dirugikan” oleh perombakan) tak menarik dukungan mereka terhadap pemerintah, kesenjangan pun terpelihara hingga sekarang.
Bahkan, andaikan PBB menarik dukungan, kepergiannya dari barisan pendukung pemerintah tak akan mengeroposkan secara signifikan postur politik pemerintah. Tanpa PBB, pemerintah tetap disokong sembilan partai dengan 409 kursi (74,4%) DPR – berbanding tujuh partai oposisi yang menguasai 141 (25,6%) kursi saja.
Dalam konteks kesenjangan itu, sebagaimana terbukti dalam sejumlah kasus selama dua setengah tahun terakhir, berbagai ketegangan dan konflik yang meruyak dari dalam lembaga legislatif, pada akhirnya layu sebelum berkembang. Drama politik DPR-Pemerintah pun senantiasa berakhir dengan antiklimaks. Ketegangan tak pernah berkembang menjadi konflik politik serius legislatif versus eksekutif -- apatah lagi menjadi pengerasan dan peningkatan efektivitas oposisi politik.
Ilustrasi terbaik tentang drama antiklimaks itu adalah ketegangan DPR-Pemerintah di seputar kebijakan kenaikan dramatis harga bahan bakar minyak pada 1 Oktober 2005. Pada awalnya, DPR seperti mengalami radikalisasi, tapi pada ujungnya, pemerintah memenangkan pertarungan. Ketegangan dengan cepat meredup tersapu dominasi politik partai-partai pendukung pemerintah.
Saya -- dan siapa -- pun dengan mudah bisa menduga bahwa drama sejenislah yang akan terulang berkaitan dengan heboh interpelasi hari-hari ini. Dugaan ini juga makin diperkuat oleh fakta lain yang lebih bersifat idividual. Radikalisasi DPR kerapkali sejatinya hanya mewakili sebuah gejala yang lebih bersifat individual. Radikalisasi itu kerapkali hanya menjadi semacam latihan olah vokal dan simulasi permainan politik sejumlah politisi (baru).
Generasi politisi reformasi itu seperti menemukan arena latihan tembak di tengah dinamisasi hubungan politik DPR-Pemerintah. Celakanya, alih-alih menggambarkan aktualisasi politik dan ideologi mereka (serta partai mereka), radikalisasi itu kerapkali tak punya arah. Politisi dan partai yang melakukan penentangan atas kebijakan pemerintah kerapkali tak dipandu oleh pilihan ajeg atas ideologi politik atau orientasi kebijakan tertentu.
Maka, mereka bukanlah politisi pro-populisme ekonomi yang sedang melawan arah kebijakan ekonomi pemerintah yang neoliberal, atau sebaliknya. Mereka juga tak mewakili sayap politik tertentu yang sedang bertarung dengan sayap politik berbeda di seberang mereka. Isu kebijakan ekonomi yang mereka sokong bisa neoliberal atau populis atau tak jelas sama sekali. Isu politik yang mereka usung bisa internasionalis, nasionalis, multilateralis, unilateralis, populis, elitis, atau apa saja, atau semacam campuran yang tak jelas juntrungannya.
Yang justru lebih gampang kita temukan adalah agenda-agenda individual mereka. Kecewa karena tak masuk kabinet. Butuh panggung untuk menjaga ritme popularitas menjelang pemilu berikutnya. Dan lain-lain. Sebagian dari penentang pemerintah juga datang dari partai pendukung pemerintah, seperti Partai Golkar. Manakala politisi dari partai semacam ini bersikap oposan pada pemerintah yang didukungnya, maka siapapun berhak menduga bahwa “politik dua muka” yang mereka jalankan tentu saja bertalian dengan kebutuhan mereka mencari posisi-posisi alternatif yang paling nyaman menjelang pemilu dua tahun depan. Oposisi mereka hari ini adalah deposito yang akumulasi bunga dan simpanannya akan berguna menghadapi pemilih Pemilu 2009.
Maka, siapapun yang berusaha mencari pola oposisi dalam DPR berdasarkan perbedaan orientasi kebijakan ekonomi atau politik, tentu akan kecewa. Sebab, satu-satunya “pola oposisi politisi” dalam legislatif itu adalah “ketiadaan pola”. Satu-satunya “pola perilaku partai” dalam DPR adalah “nihil pola”. Kalaupun ada basis orientasi dan ideology politik yang melatari ketiadaan pola itu, maka sangat boleh jadi adalah “pragmatisme”.
Dari balik drama antiklimaks interpelasi DPR hari ini pun kita bertemu agenda penting yang tersisa dalam reformasi kita: pendewasaan partai dan politisi (baik di legislatif maupun eksekutif). Di tengah partai dan politisi yang masih juga kanak-kanak, hendaknya kita (warga negara, para pemilih) tak ikut memelihara sifat kanak-kanak sejenis.
Selasa, 09 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar