Semua Presiden (modern) memiliki ”tim pembabak jalan” atau ”tim pendahulu”. Aggotanya dalam bahasa Inggris biasa dinamai ”advance man”, ”advance agent” atau ”advance person”. Inilah tim yang datang lebih awal ke tempat yang akan dikunjungi Presiden.
Tugas tim ini amat beragam: mencoba rute perjalanan darat atau air, mengurus transportasi, menggarap sambutan masyarakat dan media setempat, mengurusi hal ihwal protokoler dan agenda kegiatan, bertemu dengan pejabat setempat, dan lain-lain. Tim ini bertugas memastikan bahwa segala rencana akan berjalan baik.
Cakupan dan tingkat kerumitan tugas mereka bergantung pada perkembangan zaman. Ketika segala hal masih serba bersahaja, tim pembabak jalan Presiden Sukarno dulu, amatlah bersahaja pula. Mengutip assistant press officer Sukarno (1958-1962), Didiet S. Soerjotjokro Malakiano, tim ini biasanya bertugas membawa microphone, pengeras suara, tape recorder, mengkoordinasikan pengamanan dengan panglima tentara, kepala polisi, pejabat intelejen dan pimpinan daerah, serta mengatur protokoler termasuk menyediakan mobil dan penginapan.
Kadang-kadang, tim pendahulu melakukan pekerjaan yang tak terbayangkan oleh orang awam. Untuk menghadiri Konvensi Partai Republik 1956, di San Francisco, misalnya, Dwight D. Eisenhower, mengirim seorang anggota tim pendahulu yang bertugas mengecek dan memastikan suhu dan kondisi udara setempat. Sang anggota Tim, Tom Stephens, yang memang ahli di bidang itu, mengatur supaya Eisenhower bisa berpenampilan yang sesuai dengan suhu udara setempat.
Pada tahun 2002, mantan Presiden AS Bill Clinton berkunjung ke Achen, Jerman. Sebuah tim pembabak jalan pun dikirim ke sana yang antara lain, untuk tujuan pengamanan, bertugas memeriksa semua lubang pembuangan air di setiap tempat yang akan dilalui dan dikunjungi Clinton. Mereka lalu menyegel lubang-lubang itu dengan tanda keamanan pemerintah AS. Jauh selepas kunjungan Clinton, kita pun masih bisa dengan mudah melihat segel-segel melekat di banyak tempat, nyaris di seantero kota.
Podium Istana
Tapi, rasanya tak ada yang seunik tim pembabak jalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dikisahkan Kompas (10/10/2006). Presiden Yudhoyono ternyata punya tim pendahulu, yakni staf bidang peralatan, yang bertugas membawa podium istana ke mana pun Presiden berkunjung di seluruh pelosok negeri.
Kantor Presiden Yudhoyono, menurut Kompas, punya sepuluh buah podium dengan burung Garuda tercetak di atasnya, yang dipesan dari Jawa Timur. Para podium yang terhormat ini ditempatkan di sejumlah istana atau tempat peristirahat resmi Presiden di beberapa kota. Di Jakarta sendiri, tersedia empat podium hitam kira-kira setinggi bahu itu. Satu di Istana Negara, satu di Kantor Presiden dan dua sisanya untuk dibawa-bawa oleh sekitar enam orang anggota tim pendahulu ke mana pun Presiden pergi.
Tentu saja, membawa-bawa podium seberat 40 kilogram, terbuat dari kayu jati itu, tidaklah selalu mudah. Untuk acara panen raya di Dadahup, Kapuas, Kalimantan Tengah, beberapa waktu lalu, misalnya, podium itu mesti dibawa lewat darat, menempuh empat jam perjalanan dari Palangkaraya. Kesulitan bertambah manakala sang podium mesti diangkut ke daerah-daerah yang sulit transportasi semacam Yakuhimo, Papua. Kadang-kadang, tak hanya satu podium yang mesti dibawa karena Presiden dijadwalkan berpidato di beberapa tempat dalam waktu berdekatan.
Tafsir Positif dan Negatif
Perjalanan sang podium pun sangat berliku dan kaya pengalaman sehingga sebetulnya sungguh layak dijadikan tema cerita sinetron atau film layar lebar. Latar atau lanskap ceritanya, tentu saja, demokratisasi Indonesia.
Dalam kaitan dengan latar atau lanskap inilah sejumlah tafsir atas fenomena Presiden dan podiumnya itu bisa disusun. Ketika kehidupan kita makin demokratis, komunikasi memainkan peran yang makin penting. Podium adalah salah satu perangkatnya. Di sini, komunikasi bukan saja berfungsi saling menukar pesan, tapi juga sebagai arena pembentukan citra. Podium itu mungkin dipandang membantu komunikasi dan pencitraan.
Sang podium mungkin pula diperlukan untuk membentuk dan menjaga kewibawaan Presiden dan lembaga kepresidenan. Sekalipun didera hidup yang makin susah, masyarakat setidaknya bakal terdongkrak kebanggaannya oleh kewibawaan kepala negara (dan podiumnya). Bukankah lebih baik hidup susah dengan kebanggaan ketimbang tanpa kebanggaan?
Sang podium pun mungkin merupakan bagian dari paket penampilan kepala negara untuk mencitrakan jabatan tingginya. Penampilan memang bukan segalanya, tapi menjaga penampilan tentu saja penting adanya. Bukankah Presiden yang pandai menjaga penampilan lebih baik ketimbang yang semrawut?
Sang podium mungkin juga menjadi semacam tugu perbatasan di antara yang berbicara dan yang mendengar sambil menegaskan perbedaan posisi keduanya. Di sini, podium menjadi pembangun formalitas. Kehadirannya memastikan resminya kehadiran dan pembicaraan Presiden serta respon dari khalayak atasnya.
Maka, podium itu menjadi penanda tengah berlangsungnya upacara, seremoni dengan tata cara protokoler saksama. Dengan podiumnya, Presiden seolah memimpin upacara dari sebuah singasana. Walhasil, podium hitam sebahu itu bukanlah sekadar kayu jati. Ia adalah penegas bahwa Presiden sadar akan pentingnya menjadi ”Presiden yang presidensial”. Boleh jadi, penegasan soal ini diperlukan saat ini di tengah adanya Presiden dan Republik tiruan dalam beberapa tayangan televisi.
Itulah daftar panjang tafsir positif yang bisa kita buat atas hubungan Presiden dan podiumnya. Intinya, kehadiran sang podium sangat boleh jadi menandai hadirnya Presiden yang sadar konteks, latar, lanskap dan zaman. Tapi, celakanya, dalam matematika politik, pertemuan aspek-aspek positif secara berlebihan justru cenderung menghasilkan pengurangan, menjadi negatif.
Sebagai perlengkapan komunikasi politik, podium itu justru bisa menjadi simbolisasi komunikasi politik satu arah, bukan dua atau banyak arah. Bukankah jika hendak berkomunikasi dengan petani secara dua arah, podium tak diperlukan? Bukankah tikar di atas dangau (buatan) lebih menyatukan Presiden dengan para petani? Bukankah komunikasi tanpa podium justru menghilangkan jarak di antara Presiden dan khalayak?
Kehadiran sang podium di mana saja Presiden berpidato juga potensial menenggelamkan kelenturan politik Presiden di balik kekakuan. Informalitas potensial dibunuh oleh formalitas yang tak perlu. Dan jangan lupa, menjadi formal tak sama maknanya dengan menjadi ’presidensial’.
Yang berbahaya adalah bila di balik kewajiban membawa podium dari Jakarta ke daerah-daerah itu tersembunyi alam bawah sadar kita yang pro sentralisasi. Podium-podium lokal yang beragam tergeser oleh sang podium hitam kayu jati sebahu itu. Jika kecenderungan bawah sadar itu memang ada, fenomena podium ini pun, dalam batas-batas tertentu, bisa mencederai kearifan lokal. Bukankah keragaman podium – sebagaimana keragaman arsitektur rumah, kesenian dan kebudayaan, atau alam pikiran lokal – justru mempercantik Indonesia, memperindah kita?
Bagaimanapun, dilihat dari sisi pemasaran politik (political marketing), kewajiban mengangkut podium ke mana-mana merupakan bentuk pemasaran yang mementingkan bungkus ketimbang isi. Pemasaran politik yang salah kaprah. Sebuah bahaya pun mengancam dari baliknya: cara dan simbol lebih dipentingkan ketimbang tujuan dan substansi komunikasi.
Akhirnya, sangat boleh jadi, Presiden dan orang-orang istana memandang analisis ini sebagai berlebihan. Tak apa-apa. Sebab, menurut akal sehat saya, membawa-bawa podium dan menugaskan enam orang untuk urusan itu ke mana pun Presiden pergi, adalah sungguh jauh lebih berlebihan.
Saya tahu, sangat boleh jadi kewajiban membawa podium itu dilandasi niat baik. Tapi, menurut hemat saya, niat yang baik selayaknya tak mencederai akal sehat dan kepatutan. [***]
Selasa, 09 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar