Selasa, 09 Oktober 2007

Akhir Para Diktator

Saddam Hussein, mantan Presiden Irak (1979-2003), akhirnya dihukum gantung 30 Desember 2006 lalu. Tragedi Saddam sendiri tidaklah sendirian. Ia adalah satu dari sejumlah diktatur yang dalam era politik modern mesti menjalani akhir kekuasaan dan hidup yang memilukan.

Masih lekat dalam ingatan kita, di hari Natal 1989, Nicolae Ceausescu, Presiden Rumania waktu itu, tersungkur bersimbah darah dieksekusi oleh kekuatan yang selama ia berkuasa (1967-1989) ia besarkan sendiri. Jauh sebelumnya, 28 April 1945, Perdana Menteri Italia (1922-1943), Benito Mussolini juga mesti mengakhiri hidupnya di hadapan para eksekutor. Saddam, Ceausescu dan Mussolini adalah para diktator yang begitu berkuasa pada masa jayanya tetapi mesti menjalani akhir tragis.

Sejumlah diktator lain, mengakhiri hidupnya di tengah proses peradilan atas kekeliruan-kekeliruan yang ia buat selama berkuasa. Pada 10 Desember tahun lalu, diktator Chile, Augusto Pinochet – menjabat Presiden antara 1973-1990 – meninggal dunia ketika peradilannya belum lagi selesai. Sebelumnya, Slobodan Milosevic, Presiden Yugoslavia (1989-2000) juga meninggal di tengah proses peradilan atasnya yang diramalkan masih panjang.

Sejumlah diktator lain mengakhiri hidupnya di pengasingan tanpa pernah merasakan proses peradilan. Pada 16 Agustus 2006, Alfredo Strossner, Presiden Paraguay (1954-1989) meninggal di tempat pengasingannya, Brazil. Tepat tiga tahun sebelumnya, 16 Agustus 2003, Idi Amin Dada, Presiden diktator Uganda yang legendaris (1971-1979) mati di Arab Saudi. Diktator legenda Asia Tenggara yang memimpin Khmer Merah (1975-1979), Pol Pot, meninggal dunia pada 16 April 1998 di hutan Kamboja, tempatnya mengasingkan diri. Jean-Bedel Bokassa, penguasa Afrika Tengah (1972-1979), mengasingkan diri di Pantai Gading dan Perancis hingga kemudian meninggal 3 November 1996.

Perlakuan atas masa lampau dan seluruh bagiannya kerapkali memainkan peranan penting dalam sukses atau gagal pengelolaan masa depan. Legacy matters. Gajah mati meninggalkan gading. Diktator mati meninggalkan warisan masa lampau dalam pengelolaan masa depan negeri yang pernah dikuasainya. Dalam konteks inilah perlakuan atas diktator (beserta sistem kekuasaan yang disimbolisasi dan diwakilinya) menjadi penting.

Berbagai literatur demokrasi pun menggarisbawahi betapa warisan masa lampau beserta ingatan atasnya memainkan peranan signifikan dalam pengelolaan perubahan sebuah masyarakat. Memory matters. Buku kumpulan tulisan yang diterbitkan Oxford, The Politics of Memory and Democratization, memberi garis bawah: Salah satu isu terpenting dalam transisi dari otoritarianisme ke demokrasi adalah bagaimana menguatkan ingatan tentang represi dan peninggalan-peninggalannya. Dengan membahas Afrika Selatan, Portugal, Spanyol, Rusia, Jerman setekah reunifikasi, negara-negara Eropa Tengah dan Timur, dan negara-negara Amerika Selatan, buku ini mengingatkan bahwa ingatan yang kuat menyokong sukses transisi.

Saya sepakat. Kezaliman masa lalu mesti disimpan dalam ingatan untuk membikin sebuah masyarakat tak tercebur dua kali -- apalagi berkali-kali -- ke lubang yang sama. Masyarakat Jerman termasuk yang tahu betul soal ini. Mereka terus-menerus mengingatkan dirinya agar berbaik-baik dalam vergangenheitsbewaltgung, pengelolaan masa lalu. Karena itu, mereka menyimpan trauma Holocaust -- drama pembantaian orang-orang Yahudi -- di kepala mereka untuk membuat kejahatan kemanusiaan yang biadab itu tak terulangi.

Dalam konteks itulah, perlakuan atas seorang diktator menjadi penting untuk menegaskan sikap sebuah bangsa terhadap kemarin, hari ini dan besok. Perlakuan ini terutama bisa menggambarkan apakah masa lampau “dimaafkan dan dilupakan” atau “tak dimaafkan dan tak dilupakan” atau “dimaafkan tapi tak dilupakan”. Karena itu, percuma saja seorang diktatur dipenggal manakala masyarakatnya justru malah menjadikannya pahlawan dan dengan segera pula kekeliruan-kekeliruan masa lampau dilupakan dan kembali diulang di masa kini. Percuma juga memperlakukan seorang diktatur yang anti demokrasi dengan cara-cara yang tidak demokratis.

Demokrasi menuntut perlakuan yang layak atas diktatur dan warisan-warisannya dalam satu model rekonsiliasi demokratis. Dalam model ini, rumus yang umum dipakai adalah “memaafkan tanpa melupakan”. Maka, sebuah proses hukum dan politik yang bebas, transparan, tuntas, cepat dan adil dibutuhkan. Dalam proses ini, pengadilan atas sang diktatur dibutuhkan. Kesalahan-kesalahannya mesti dibeberkan sebagai pelajaran yang tak layak diulang. Setelah semua proses berakhir, vonis dijatuhkan, untuk memberi pelajaran bagi siapa pun bahwa kekeliruan mesti diberi sanksi. Bisa saja, setelah itu, sang diktatur diberi pengampunan secara politik sebagaimana terjadi di Korea Selatan. Tetapi, pengampunan hanya bisa diberikan setelah seluruh bangsa mengambil pelajaran.

Di Indonesia, setelah reformasi berjalan lebih dari delapan tahun, kita belum juga menuntaskan proses itu dengan layak. Bahkan, rekonsiliasi yang kita jalani, sejauh ini lebih mengarah ke pemberian maaf secara serta merta sambil melupakan. Dalam jangka pendek, kita memang tak akan merasakan ekses dari perlakuan keliru terhadap masa lampau dan kekeliruan-kekeliruannya ini. Tapi, dalam jangka panjang, ini sungguh berbahaya.

Saya mengerti bahwa Soeharto sudah tua dan sakit-sakitan. Sangat boleh jadi, sebuah pengadilan yang layak atasnya juga akan menghadapi kendala teknis yang tidak sedikit. Persoalannya, dengan atau tanpa pengadilan, kita tak pernah membuat penegasan resmi secara politik dan hukum tentang kekeliruan-kekeliruan kekuasaannya. Kasus Soeharto dibiarkan menggantung tanpa kejelasan. Keadaan ini membuka kemungkinan bagi terjadinya (kembali) manipulasi atas sejarah dan membuat kita terjeblos ke lubang yang sama berkali-kali.

Di tengah kontroversi masyarakat internasional yang masih hangat hingga hari ini tentang kelayakan eksekusi Saddam, ada baiknya Indonesia mengambil pelajaran. Tanpa sikap layak atas sang diktatur beserta unsur-unsur masa lampau yang disimbolisasi dan diwakilinya, kita akan terseok-seok menjalani perubahan dan dalam menjemput masa depan yang lebih baik.

Soeharto memang selayaknya dimaafkan tetapi setelah proses politik dan hukum secara resmi menegaskan kekeliruan-kekeliruannya. Dengan itu, kita mengambil pelajaran atas kekeliruan masa lampau untuk tak mengulangnya di hari ini dan besok. Sambil, tentu saja, jangan pernah melupakan masa lampau beserta catatan buruk dan baiknya. Hanya dengan memaafkan dan tak melupakan secara layak seperti ini, kita bisa menjalani transisi menuju demokrasi.

Tidak ada komentar: