Selasa, 09 Oktober 2007

In Memoriam Prof. Miriam Budiardjo


Kabar duka itu menyengat banyak orang, siang kemarin. Prof Dr (HC) Miriam Budiardjo, MA wafat dalam usia 83 tahun 1 bulan 19 hari. Kabar ini tetap saja mengejutkan meskipun sudah sejak agak lama diketahui bahwa Prof Miriam – atau biasa dipanggil Bu Mir, di kalangan akademia Universitas Indonesia (UI) – menurun kesehatannya, terutama karena faktor usia.

Prof. Miriam adalah Guru – dengan G besar -- bagi hampir semua orang yang saat ini bergelut dengan ilmu sosial, terutama ilmu politik, di Universitas Indonesia. Bahkan bukan hanya itu. Ia adalah guru bagi hampir semua orang yang menggeluti ilmu politik di Indonesia.

Bersama-sama dengan Prof Deliar Noer dan (alm) Dr. Alfian, ia adalah peletak dasar ilmu politik di Indonesia. Di UI, ia adalah bidan dari para sarjana politik yang mulai dilahirkan oleh jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) – dulu bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (FIPK) – sejak 1969. Dalam perkembangannya kemudian, sebagian dari sarjana itu menyebar ke berbagai universitas di seluruh Indonesia dan menjadi perintis ilmu politik di tempatnya masing-masing.

Tak banyak yang tahu bahwa sarjana ilmu politik pertama yang dilahirkan Prof. Miriam (dan kawan-kawan di FIPK UI) adalah seorang mahasiswa dari Thailand bernama Makata yang menulis skripsi mengenai “Politik Konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia” (Indonesia Raja, 24/11/1969).

*****

Posisi Prof. Miriam sebagai Guru Ilmu Politik bagi semua orang dilembagakan melalui karya klasiknya, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Dicetak ulang puluhan kali sejak pertama kali diterbitkan (1982), dan dibajak puluhan kali secara tak bertanggung jawab, buku ini menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa ilmu politik di berbagai universitas di Indonesia. Benar bahwa setelah itu Prof. Miriam tidak terlampau produktif menghasilkan buku dan karya-karya ilmiah lainnya, tetapi Dasar-Dasar Ilmu Politik rasa-rasanya hampir selalu ada di rak buku setiap mahasiswa ilmu politik di mana pun.

Buku itu menjadi semacam menu wajib bagi setiap pelajar ilmu politik, bersama beberapa karya lain Prof. Miriam. Diantaranya: Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia (ditulis bersama Prof. Maswadi Rauf, diterbitkan Ghalia Indonesia, 1983), dan artikel "Pendekatan-Pendekatan dalam Ilmu Politik" (terbit dalam Jurnal Ilmu Politik, No. 1, 1986).

Sebagi Guru, Prof. Miriam tidak pernah meninggalkan kampus sejak masa-masa perintisan jurusan Ilmu Politik di UI hingga akhir hayatnya. Ia adalah salah satu contoh terbaik pengajar dan pendidik yang benar-benar mencintai kampus dan para mahasiswanya. Sebagai mahasiswa, kemudian asisten dosen dan dosen di departemen Ilmu Politik UI, saya menyaksikan betapa Prof. Miriam mencemaskan masa depan ilmu politik karena kecintaannya yang meluap-luap.

Salah satu sumber kecemasannya yang paling utama adalah perkembangan sumber daya manusia. Berkali-kali, dalam berbagai kesempatan, ia merisaukan betapa terlambat dan tertinggalnya pengembangan sumber daya manusia di jurusan-jurusan ilmu politik.

*****

Dalam posisinya sebagai Guru, Prof. Miriam mencatat dengan cermat perkembangan ilmu politik di Indonesia. Catatan inilah yang antara lain ia sampaikan melalui Pidato Purnabaktinya sebagai Guru Besar Ilmu Politik di FISIP UI, 1 April 1989. (Pidato ini kemudian dipublikasikan secara lebih luas dalam Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1994).

Melalui pidato ini, Prof. Miriam mengungkapkan optimismenya akan masa depan ilmu politik sambil memberinya semacam “catatan kaki”. Di masa depan, menurutnya, para sarjana ilmu politik semestinya mengarahkan agendanya pada dua hal: memperkuat pengetahuan ekonomi mereka; dan melakukan indigenisasi ilmu politik, sebagaimana telah berhasil dilakukan oleh ilmuwan politik India.

Di kemudian hari, daftar harapan itu dibuatnya lebih panjang. Di sejumlah kesempatan, ia sangat berharap ilmu politik tidak tertinggal oleh perkembangan masyarakat yang melaju cepat, terutama setelah kejatuhan Soeharto. Dibalut oleh cemas, ia khawatir bahwa demokratisasi yang begitu bergemuruh di luar kampus pada akhirnya tak terjejeri oleh perubahan ilmu politik.

Hingga Tuhan memanggilnya kemarin siang, tiga harapan Prof. Miriam itu masih tetap relevan. Tuntutan agar ilmu politik makin mengembangkan pendekatan yang lintas-disiplin dan multi-disiplin, mengembangkan proyek indigenisasi (stau kerap disebut secara salah kaprah dalam istilah “pribumisasi) sehingga lebih meng-Indonesia, serta menyejajarkan diri dengan perkembangan ekonomi-politik yang amat cepat dalam kerangka demokratisasi, tampaknya belum juga terjawab dengan baik oleh ilmu politik Indonesia hingga hari ini.

Menurut hemat saya, salah satu cara melepas kepergian Prof. Miriam dengan layak adalah mengingat harapan-harapannya itu serta berusaha memperjuangkan pemenuhannya.

Tentu saja, mengenang seorang Prof. Miriam “semata” sebagai seorang Guru, berpotensi mengecilkan kebesaran sosoknya. Di luar kampus, Prof. Miriam juga meninggalkan sejumlah jejak penting, seperti kiprahnya sebagai Wakil Ketua Komnas HAM dan anggota Tim Sebelas yang bertugas memverifikasi partai-partai politik calon peserta Pemilu 1999. Namun demikian, menurut dugaan saya, di atas segalanya, Prof. Miriam akan berbahagia dikenang sebagai seorang Guru – dengan G besar.

Tidak ada komentar: