Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan perombakan Kabinet Indonesia Bersatu pukul 15.00 WIB petang kemarin. “Reshuffle terbatas” ini mencakup penggantian lima menteri dan pejabat setingkat menteri serta perpindahan posisi dua orang menteri.
Sejumlah nama baru masuk ke dalam kabinet. : Mohammad Nuh (Menkominfo), Hendarman Supanji (Jaksa Agung), Jusman Safi’i Djamal (Menteri Perhubungan), Andi Matalata (Menteri Hukum dan HAM), dan Muhammad Lukman Edy (Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal). Dua orang menteri menempati posisi baru: Sofyan Djalil (Menteri Negara BUMN) dan Hatta Rajasa (Menteri Sekretaris Negara). Sementara lima orang menteri (Sugiharto, Abdul Rahman Saleh, Yusril Ihza Mahendra, Hamid Awaluddin dan Saifullah Yusuf) terpental keluar dari kabinet.
Catatan apa yang bisa kita ajukan terhadap perombakan kabinet ini? Realistiskah memberi kabinet berkomposisi baru ini beban harapan yang tinggi?
“Sangat Yudhoyono”
Bagi saya, perombakan kabinet kedua dalam pemerintahan Yudhoyono ini menggarisbawahi bekerjanya gaya politik yang “sangat Yudhoyono.” Gaya ini terutama dicirikan oleh lima karakter pokok.
Pertama, politik yang baik bagi Yudhoyono adalah yang bisa meminimalkan risiko. Selama 2,5 tahun menjadi Presiden, Yudhoyono terbukti pandai mengambil langkah-langkah politik dengan risiko paling minimal. Di lihat dari satu sisi, tentu kecenderungan ini baik belaka. Tapi, celakanya, tak pernah ada politik bersisi tunggal. Pada titik inilah persoalan mengemuka. Kepemimpinan Yudhoyono yang pandai meniminalkan risiko dengan mudah bisa terjebak menjadi kepemimpinan yang lemah dan tak mau mengambil pilihan sulit.
Dalam kerangka itu, perombakan kali ini ditandai oleh ketidakmauan Presiden mencederai keterwakilan partai dalam kabinet. Dari sisi keterwakilan politik, perombakan ini tak membuat perubahan signifikan. Kalangan non-partai bertambah dari 18 menjadi 19 orang. Golkar memperoleh tambahan satu kursi kabinet, menjadi empat kursi. PPP mengalami penyusutan wakil dari tiga menjadi dua menteri. PBB mengalami penurunan keterwakilan, hanya menguasai satu kursi menteri. Sementara PKS, PKB, PAN, Partai Demokrat, dan PKPI tak mengalami perubahan tingkat keterwakilan. Celakanya, tak tercederainya keterwakilan partai mesti dibayar mahal dengan tak tersentuhnya persoalan-persoalan pokok pemerintahan.
Kedua, komunikasi politik yang layak bagi Yudhoyono adalah yang tersamar. Yudhoyono adalah seorang pembicara handal. Tapi, sebagian besar kehandalannya diwakafkan untuk politik basa-basi. Terhadap lima menteri yang dipecat dari jabatannya, misalnya, Presiden tak mengungkapkan catatan kritis apapun. Ia justru memuji-muji para pembantunya yang dipecat itu. Pertanyaan yang boleh jadi mengemuka di kalangan awam adalah, “Lalu, jika demikian baiknya prestasi mereka, mengapakah mereka diberhentikan?”
Politik basa-basi kadang-kadang diperlukan. Tapi, ketika ia menjadi karakter permanen dalam gaya komunikasi pemimpin, hasilnya adalah absennya ketegasan dan kepastian serta tersamarkannya substansi.
Ketiga, kamus politik Yudhoyono menempatkan etika sebagai sebuah entri penting. Tapi, dalam praktiknya, fungsi etika bergeser dari pandu menjadi kerangkeng. Dalam pengumuman perombakan kemarin, selain memuji para menteri yang dipecat, Presiden merasa perlu membantah desas-desus mengenai sakitnya sejumlah menteri. Bahkan, Presiden merasa perlu menunda keputusannya mengenai penggantian Menteri Dalam Negeri Muhammad Ma’ruf yang sudah terbukti sakit serius. Atas nama etika, pendukung loyal seperti M. Ma’ruf tentu mesti diakomodasi. Tetapi, dalam konteks ini, akomodasi ini terasa berlebihan.
Keempat, Presiden pun punya kecenderungan menggaruk kening ketika dengkulnya gatal. Presiden kerapkali terlihat pandai dalam merumuskan masalah dan keadaan. Sayangnya, langkah-langkah yang diambilnya kerapkali berjarak – bahkan jauh panggang dari api – dari rumusan persoalan yang dibuatnya sendiri.
Sulit dibantah bahwa salah satu persoalan pokok pemerintahan Yudhoyono adalah kegagalan mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan, merevitalisasi sektor riil dan pertanian, membangun model manajemen bencana yang layak. Tapi, kita tahu bahwa perombakan kali ini tak menyentuh para menteri pada pos-pos yang berkaitan dengan daftar kegagalan itu. Perombakan pun tak mengabdi pada pemecahan persoalan pokok melainkan pada persoalan-persoalan yang lebih pinggiran.
Kelima, politik Presiden pun pada akhirnya cenderung menjauhi klimaks. Sudah sekitar tujuh bulan terakhir perdebatan panas tentang perombakan kabinet berlangsung. Energi politik yang dikeluarkan untuk itu pun tak sedikit. Tetapi, ketika sampai ke keputusan prerogatif Presiden, yang kita temukan adalah sebuah antiklimaks.
Dalam keranga itu, dilihat dari sisi sosok dan ketokohan misalnya, perombakan kabinet kali ini tak menghadirkan figur baru dengan ketokohan dan rekam jejak menonjol. Para anggota baru Kabinet Indonesia Bersatu adalah pemilik kualitas ketokohan yang datar-datar saja.
Politik antiklimaks ini sesungguhnya bukan kecenderungan baru. Hal yang sama kita temukan dalam proses penantian pidato 100 hari, pidato 3 bulan, perombakan kabinet pertama sekitar 1,5 tahun lampau, pidato awal tahun, pengumuman beberapa paket baru kebijakan ekonomi dan investasi, dan lain-lain.
Pil Analgesik
Bagaimanapun, perombakan kabinet bukanlah tujuan melainkan sarana. Perombakan menjadi penting jika bisa memfasilitasi perbaikan kinerja pemerintahan serta membikin harapan banyak orang akan perbaikan keadaan tak lagi bertepuk sebelah tangan. Realistiskah membayangkan perombakan kali akan menjadi sarana yang layak ke arah itu?
Di satu sisi, tak realistis membayangkan dampak-serta-merta dari perombakan ini. Setelah berjalan selama 2,5 tahun, pemerintahan Yudhoyono bukan saja mengidap persoalan komposisi kabinet, melainkan juga (dan terutama) persoalan kepemimpinan serta manajemen pemerintahan dan kebijakan. Tak ada garansi bahwa perombakan ini akan berpengaruh pada perbaikan kepemimpinan serta manajemen pemerintahan dan kebijakan itu.
Di sisi lain, perombakan ini tak menandai adanya perubahan perspektif dan arah kebijakan Presiden dan pemerintahan. Perombakan ini hanyalah respon parsial atas persoalan menyeluruh yang dihadapi pemerintahan. Bahkan, umpama seorang dokter, Presiden telah memutuskan untuk memberi pil analgesik atas sakit yang diderita pemerintahannya. Sang pil analgesik pun hanya bisa menghilangkan sementara waktu sakit yang diderita. Pil analgesik tak bisa diharapkan bisa mengatasi sumber-sumber penyakitnya.
Maka, tak kurang dan tak lebih, ini memang “perombakan amat sangat terbatas”, baik dalam hal wujud maupun dampaknya. Pada akhirnya, tentu saja kita mesti memberi kesempatan kepada pemerintahan dengan komposisi baru ini untuk bekerja secara leluasa. Tentu, sambil juga membiarkan sang waktu untuk ikut memberi vonisnya kelak.
Selasa, 09 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar