Selasa, 09 Oktober 2007

Mengelola Golput Jakarta

Potensi Golput dalam Pilkada Jakarta 2007 bisa mencapai 65 persen! Inilah salah satu hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilansir akhir pekan lalu. Ada baiknya kita tak serta merta terkejut dengan angka yang dahsyat ini.

Angka itu dihasilkan dari penggabungan tiga kantong Golput potensial di Jakarta. Mereka yang pada saat survei diadakan (14-16 Juli 2007) tidak terdaftar sebagai pemilih sebanyak 33 persen. Mereka yang terdaftar tapi tak yakin atau ragu-ragu bahwa pilkada akan memperbaiki keadaan sebanyak 13 persen. Mereka yang tak tahu apakah mereka terdaftar atau tidak serta tak yakin atau ragu-ragu bahwa pilkada akan memperbaiki keadaan sebanyak 19 persen.

Walhasil, angka itu hanya menggambarkan “potensi Golput” secara kasar dan sangat awal. Pengayaan informasi selama masa kampanye – yang dimulai enam hari setelah survei diadakan – bisa saja mengubah keyakinan 32 persen calon pemilih yang tak yakin atau ragu-ragu akan hasil pilkada itu. Terlebih-lebih, secara teoritis, mereka yang tak berkeyakinan penuh belum tentu tak memilih.

Karena itu, sangat boleh jadi, jumlah Golput tak sebesar ramalan LSI. Tetapi, bagaimanapun, persoalan Golput Jakarta tetap memerlukan perlakuan layak. Kelayakan inilah yang kerap terganggu oleh dua kemungkinan sikap ekstrim: patriotisasi berlebihan dan pengabaian semena-mena.

Di masa Orde Baru, memilih adalah kewajiban. Pengingkaran atas kewajiban ini kerapkali mesti berhadapan dengan koersi dan represi. Menjadi Golput pun merupakan patriotisme politik. Sebuah perlawanan bermakna.

Selepas Orde Baru, memilih tak lagi menjadi kewajiban melainkan hak. Siapa saja berhak untuk menggunakan atau tak menggunakan hak pilihnya. Dalam konteks ini, menjadi Golput pun menjadi hal biasa. Memilih atau tak memilih sama nilainya manakala dilakukan secara bertanggung jawab. Patriotisasi Golput secara berlebihan pun menjadi tak lagi relevan.

Celakanya, patriotisasi berlebihan inilah yang masih kerap kita temui. Golput digeneralisasi sebagai perlawanan-padu mereka yang bersepakat melawan. Golput disemati identitas politik bahkan ideologi yang patriotik: Pelawan kezaliman. Patriotisasi berlebihan semacam ini mengidap masalah.

Golput tidaklah mewakili sebuah kalangan atau kelompok politik homogen. Dalam konteks “memilih sebagai hak”, Golput mewakili sebuah spektrum luas dan beragam.

Ada Golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tak sah. Ada juga Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu) atau mereka yang tak tahu yang mereka mau sehingga cenderung tak berpartisipasi.

Ada pula Golput politis yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Sekalipun jumlahnya terbatas, ada pula Golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.

Maka, memosisikannya sebagai sebuah gerakan politik yang homogen dan padu adalah berlebihan dan tak relevan. Sikap ini hanya menggelar panggung bagi para pahlawan kesiangan.

Bersikap sebaliknya, mengabaikan Golput seolah sama sekali bukan faktor politik, juga sama bermasalahnya. Menggeneralisasi Golput semata sebagai kegenitan politik dan mengabaikannya bukanlah sebuah tindakan layak dan bijak. Menyeragamkannya sebagai ekspresi kalangan tak berkesadaran politik juga sama tak layaknya.

Bagaimanapun, Golput tak jatuh dari langit. Ia tak lahir dari ruang hampa. Dalam batas tertentu, Golput mewakili sebuah gejala politik penting (turunnya kepercayaan masyarakat pada demokrasi, pemilu, partai, atau tokoh/kandidat) atau menggarisbawahi terjadinya kekeliruan penting (ketidakmampuan lembaga statistik, pemerintah, komisi pemilu dalam melakukan pendataan pemilih dan/atau sosialisasi tentang hal-ihwal pemilihan).

Kehadiran dan peguatan Golput pun – apalagi manakala jumlahnya makin signifikan – selayaknya diperlakukan sebagai alarm. Ia mengingatkan bahwa ada yang mesti dibenahi untuk membuat demokrasi bukan saja maju di tingkat prosedural melainkan juga makin berkualitas secara substansial.

Dalam rentang waktu 2005-2007, umumnya pilkada di tingkat provinsi, kabupaten dan kota memang ditandai oleh tingkat partisipasi yang relatif lebih rendah dibandingkan pemilu 2004 (legislatif dan Presiden). Angka rata-rata Golput pilkada mencapai 27 persen. Dalam pilkada kabupaten, rata-rata Golput mencapai 25 persen. Sementara itu, dalam pilkada kota dan porivinsi angka rata-ratanya bahkan lebih tinggi, berturut-turut 34 dan 35 persen.

Ancaman Golput yang relatif tinggi semacam itu menjadi salah satu tantangan Pilkada Jakarta 2007. KPUD, partai-partai, para kandidat dan kalangan lembaga swadaya masyarakat selayaknya menyikapinya sebagai salah satu tantangan yang perlu jawaban layak dan segera. Ancaman Golput yang tinggi semestinya mendorong berbagai anasir itu untuk melipatgandakan kerja.

KPUD mesti memperbaiki kerja-kerjanya untuk mempersempit kemungkinan kebocoran dan pencederaan hak-hak pemilih. Partai dan kandidat mesti mendekatkan isu dan program yang mereka tawarkan pada persoalan sehari-hari masyarakat dan pada pembelaan konkret hajat hidup orang banyak. Kalangan LSM juga selayaknya tergerak untuk ikut memfasilitasi terbangunnya pemilih yang betanggung jawab dan Golput yang sama bertanggungjawabnya.

Yang penting disadari para pemilih dan calon Golput Jakarta adalah bahwa ketika pencoblosan dilakukan pada 8 Agustus besok, pekerjaan sebagai warga Jakarta bukannya berakhir tapi baru saja dimulai. Terlepas dari besaran Golput Jakarta kelak, yang kerapkali justru absen dalam proses selepas pilkada adalah warga negara yang terus terjaga. Selayaknya hal ini tak terjadi di Jakarta.

Tidak ada komentar: