Selasa, 09 Oktober 2007

Mencabut Mandat

“Mandat” adalah kata yang banyak muncul dalam perbincangan politik belakangan ini. Popularitasnya meroket setelah sejumlah tokoh mengorganisasi Gerakan Mencabut Mandat, dan Presiden – melalui juru bicaranya – menyebut gerakan itu inskonstitutional.

Apakah sesungguhnya “mandat” itu? Bisakah ia diberikan melalui pemilu lalu dicabut pemberinya tanpa melalui mekanisme yang sama? Benarkah gerakan mencabut mandat adalah tindakan inkonstitusional?

Mandat sebagai Pinjaman

Secara etimologis, mandat berasal dari kata mandare (Latin) yang bermakna kurang lebih memerintahkan atau berkomitmen atau memegang kepercayaan. Melalui tradisi politik Inggris abad ke-17, mandat lalu diberi pemaknaan lebih spesifik sebagai pemberian kewenangan dari rakyat kepada pemerintah untuk menjalankan kebijakan tertentu.

Dalam praktik modern, mandat terkait dengan dua aspek yang berjalin kelindan: figur pejabat publik dan kebijakan publik. Ketika seorang pejabat terpilih, ia tak diberi cek kosong oleh pemilihnya. Mandat yang diterima meliputi pemilihan dirinya sekaligus amanat untuk menjalankan kebijakan yang telah dijanjikan.

Dalam kerangka inilah, dalam studinya mengenai pemilihan-pemilihan Presiden di Amerika Latin, Susan C. Stokes (Mandates and Democracy, 2001) mendefinisikan mandat sebagai “harapan yang dipatok oleh para politisi ketika berkampanye mengenai tindakan-tindakan yang mereka akan ambil jika memenangkan pemilu.”

Maka, setiap mandat sesungguhnya bercatatan kaki. Sang pejabat publik terpilih tak diberi mandat untuk bekerja semaunya, melainkan terikat kesepakatan-virtual dengan pemilihnya untuk menjalankan rencana kerja yang ia sudah janjikan selama kampanye. Mandat pun cedera manakala janji diingkari.

Dalam hubungan itulah, sejumlah peneliti – seperti Susan C. Stokes (2001), Melissa S. Williams (1998) atau Stephen Macedo (1999) – memosisikan mandat sebagai sesuatu yang dinamis, tidak statis. Meski diberikan, kepemilikan mandat tak dipindahkan dari pemilih kepada pejabat publik terpilih. Ia hanya dipinjamkan. Mandat yang diberikan bisa dicabut atau diminta kembali.

Dua Paham

Demokrasi modern menyediakan setidaknya dua mekanisme baku pemberian mandat: pemilu dan referendum. Untuk memilih jabatan-jabatan publik tertentu, dari kepala negara dan kepala pemerintahan hingga jabatan-jabatan politik terendah, pemilu diselenggarakan secara berkala. Sementara untuk meminta pandangan masyarakat mengenai isu-isu kebijakan tertentu, referendum biasanya diadakan.

Kapan dan melalui mekanisme apakah mandat bisa dicabut? Haruskah pencabutan mandat menunggu pemilu? Kalangan ilmuwan politik terpecah dalam dua paham dalam menjawabnya.

Penganut demokrasi liberal percaya, tiap warga negara yang hendak mencabut mandat yang sudah diberikannya harus bersabar menunggu pemilu berikut. Untuk tiap pertanyaan standar, “Apa yang mesti warga negara kerjakan untuk menghukum pejabat yang berkhianat pada janjinya?,” jawaban standar: “Tunggu pemilu berikut.”

George W. Bush berkali-kali menggunakan paham itu untuk menjawab demonstran penentangnya. Saat demonstrasi antiperang Irak kian marak pada akhir termin pertama pemerintahannya, Bush menyatakan, “Mengikuti kemauan para demonstran adalah seperti membuat kebijakan hanya berdasarkan sebuah focus group discussion.” Setelah terpilih kembali untuk termin kedua, Bush menggarisbawahi, eksplisit maupun implisit, penentangnya memang keliru dan layak diabaikan.

Sejumlah peneliti – antara lain Benjamin R. Barber (Strong Democracy, 1984) –menilai mekanisme standar itu sebagai cacat demokrasi liberal yang harus diatasi. Menurut mereka, pemilu bukan akhir pekerjaan politik seorang warga negara, tetapi awal. Seusai pemilu, warga negara tidak berlibur sambil menunggu datangnya hari pencoblosan berikut. Di antara dua pemilu, tiap warga negara dituntut menjalankan partisipasinya.

Banyak nama disematkan untuk model demokrasi yang memperbaharui konsep awal demokrasi liberal ini: demokrasi yang kuat, demokrasi partisipatoris, demokrasi deliberatif, dan lain-lain. Namun, intinya sama: pemilu hanyalah salah satu dari tonggak penting pemberian dan pemeliharaan mandat para pejabat publik. Pemilu hanya mengurusi “pembentukan kekuasaan”. Di luar itu, warga negara mesti diberi akses untuk terlibat dalam “penggunaan” dan “evaluasi kerja” kekuasaan.

Maka diajukan sejumlah mekanisme di luar pemilu dan referendum untuk membuka akses itu: demonstrasi, kontak politik langsung dengan pejabat publik, petisi, keterwakilan khusus, peradilan khusus pejabat publik, dan lain-lain. Dulu, sebagian dari mekanisme ini dikategorikan “non-konvensional”. Saat ini, sejalan dengan makin berkembang dan diterimanya gagasan-gagasan Barber dan kawan-kawan oleh banyak negara demokrasi, mekanisme itu sudah dipandang “konvensional”.

Salah Kaprah

Setelah sejumlah tokoh dan massa melakukan Gerakan Mencabut Mandat pekan lalu, pemerintah bereaksi dengan mengatakan demokrasi tak mengenal tata cara pencabutan mandat semacam itu. Sikap pemerintah ini mengidap persoalan. Sikap ini hanya menimbang satu pandangan politik yang tersedia dan mengabaikan pandangan lain.

Selain itu, pemerintah terlampau sensitif menghadapi “gerakan biasa” semacam itu. Karena surplus sensitivitas ini, pemerintah tak mampu membedakan dua fase dalam proses pencabutan mandat.

Dalam fase politik informal, dengan cara-cara beradab, siapa pun bisa mengajukan pencabutan mandat. Mencabut mandat adalah hak politik tiap orang yang menjadi bagian paket hubungan mandat antara dirinya dan pejabat publik.

Tentu saja dibutuhkan fase politik formal untuk mewujudkan tuntutan itu. Pemilu adalah formalisasi berkala yang paling sahih, tapi bukan satu-satunya. Mekanisme non-pemilu yang paling baku adalah pemecatan pejabat publik (dengan syarat-syarat politik dan hukum tertentu) melalui lembaga perwakilan. Ada mekanisme lain. Dalam konstitusi Thailand, yang kini sudah diamandemen junta militer, sekadar contoh, formalisasi bisa dilakukan melalui 50.000 orang yang lalu ditindaklanjuti mekanisme peradilan satu tingkat.

Konstitusi dan aturan perundang-undangan Indonesia sendiri belum mengatur mekanisme-mekanisme demokrasi partisipatoris semacam itu. Pembahasan paket UU Politik yang akan dimulai beberapa bulan ke depan selayaknya ikut menimbang dan mengatasi kekosongan ini.

Terlepas dari kekosongan aturan, adalah salah kaprah menilai aneka gerakan mencabut mandat – dalam bentuk-bentuknya beradab seperti dilakukan pada peringatan Malari pekan lalu – sebagai inkonstitusional. Tak ada pencederaan konstitusi dalam aktivitas atau gerakan semacam itu. Sebaliknya, akses yang terbuka bagi warga negara untuk menyuarakan aspirasinya dijamin tegas oleh konstitusi kita.

Diharapkan kesimpangsiuran perdebatan publik tentang ini mengingatkan (pemerintah maupun masyarakat), kita adalah pelajar pemula demokrasi yang tak boleh berhenti dan cepat letih belajar. Bukankah satu-satunya jalan mempelajari demokrasi adalah mempraktikkannya? Bukankah cara belajar terbaik adalah belajar dari kekeliruan?