Selasa, 09 Oktober 2007

Oposisi Permanen, Presiden Temporer

Pemilihan langsung di mana saja biasanya mengerek naik kepercayaan diri dua pihak sekaligus: para pemilih dan pejabat publik terpilih.

Ketika pemilu berlangsung, para pemilih merasa bahwa mereka adalah “penentu”. Seusai pemilu, mereka merasa berhak berharap bahwa pemerintah lebih menimbang suara mereka, suara para pemilih. Mereka juga cenderung percaya diri untuk menjadi pencatat dan penagih janji. Pemilu langsung pun cenderung menghadirkan masyarakat yang lebih rewel dan tak begitu saja menerima kerja kekuasaan. Mereka merasa tahu apa yang mereka mau dan cenderung menuntut pemerintah untuk mengikuti kemauan mereka.

Di pihak lain, para kandidat pejabat publik merasa sebagai “bintang” selama pemilu berlangsung. Setelah terpilih, mereka merasa memiliki legitimasi kuat tak tergoyahkan. Jika dalam pemilu “suara rakyat adalah suara Tuhan,” seusai pemilu para pejabat publik merasa bahwa merekalah penjelmaan suara rakyat itu. Mereka pun membuat kebijakan dengan kepercayaan diri penuh. Mereka merasa apa yang mereka kerjakan niscaya mencerminkan apa yang rakyat maui.

Maka, setiap pemilihan langsung tak hanya berdampak satu sisi pada penguatan legitimasi politik pemerintahan hasil pemilu, melainkan juga memfasilitasi grafik naik oposisi terhadap pemerintahan. Selain itu, terjadi pula perubahan karakter oposisi politik, dari sekadar gejala di tataran elite menjadi gejala pada semua orang.

Situasi itulah yang kurang lebih terpotret di tengah kita selama lebih dari dua tahun terakhir. Pemilu Presiden langsung 2004 tak saja menghadirkan pemerintah yang tampak percaya tapi juga terus memfasilitasi grafik naik oposisi.

Di satu sisi, kita menyaksikan pemerintahan Yudhoyono-Kalla tampak percaya diri atas pilihan langkah dan kebijakan mereka. Sementara itu, kritik datang bertubi-tubi dari berbagai penjuru terhadap gaya kepemimpinan serta langkah dan kebijakan mereka. Substansi kritik meliputi spektrum persoalan yang cukup luas. Bermasalahnya penyusunan dan susunan kabinet. Tingginya kecenderungan “memberi ikan dan bukan pancing” dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang bernuansa populis. Berlebihannya orientasi kepemimpinan pada pencitraan lewat simbol (tebar pesona) dan bukan kinerja. Lemahnya pemasaran kebijakan. Kerap dan tak efisiennya aktivitas kunjungan ke luar negeri pemimpin pemerintahan dan negara. Gemarnya pemimpin menggunakan retorika populis sambil menjalankan kebijakan yang sebaliknya. Terbangunnya kepemimpinan yang cenderung manis tapi tak kuat. Lemahnya manajemen pemerintahan. Kurang padunya kepemimpinan dan cabinet. Tidak adanya pola manajemen bencana yang layak, dan seterusnya.

Suara-suara kritis itu belakangan makin kerap diartikulasikan oleh berbagai tokoh, mulai dari mantan pemimpin lembaga eksekutif dan legislatif, mantan pejabat publik, serta pimpinan dan kalangan partai yang tak terwakili dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Kritik dan oposisi belakangan juga makin menggejala di kalangan purnawirawan tentara.

Sesungguhnya, hadirnya pemerintah dan oposisi yang percaya diri adalah perkara yang sungguh biasa. Ia bersifat omnipresent (ada di mana saja) dalam setiap sistem yang demokratis. Bahkan, dalam batas tertentu, ia adalah kabar baik belaka.

Namun demikian, perkembangan yang terjadi sejauh ini memberi alasan bagi setidaknya dua kecemasan. Pertama, pemerintah terutama Presiden dan kalangan istana memiliki kecenderungan untuk terlampau sensitif berhadapan dengan kritik. Sementara itu, kedua, sejumlah kalangan dalam masyarakat tampaknya mudah terjebak menggunakan tata cara non-demokratis untuk mencapai apa yang mereka klaim sebagai “perbaikan kualitas demokrasi”.

Presiden (dan pemerintah secara umum) sejauh ini belum juga mampu mengantisipasi setiap kritik dan oposisi dengan strategi komunikasi dan pemasaran politik yang layak. Alih-alih, Presiden dan para pejabat lainnya kerap kali tergopoh-gopoh bereaksi untuk hal-hal yang tak perlu dan sebaliknya menganggap angin lalu hal ihwal genting yang diperkarakan.

Mari kita sebut sejumlah misal paling mutakhir. Selebaran gelap tentang “Dewan Revolusi” direspon dengan kerepotan Istana yang tak perlu. Aktivitas oposisi kecil semacam “Gerakan Mencabut Mandat” ditanggapi dengan pernyataan bahwa itu tindakan inkonstitusional. Kritik “tebar pesona” dijawab secara emosional, bahwa kritik itu sebaiknya kembali ke alamat si pengirim.

Yang terbangun kemudian adalah sebuah ironi. Pemerintahan yang tampak percaya diri ternyata tak selalu pandai menjaga sensitivitasnya. Maka, layaklah dicemaskan bahwa Presiden dan pemerintahan secara keseluruhan – jangan-jangan – belum juga menyadari kenyataan politik yang nyaris niscaya dalam demokrasi: oposisi selalu permanen karena membatin di dalam kerja setiap demokrasi, sementara Presiden (atau simbol-simbol kekuasaan lainnya) selalu temporer adanya.

Jangan-jangan mereka lupa bahwa demokrasi yang sehat pandai menjaga sirkulasi kekuasaan (termasuk di dalamnya pergantian demi pergantian Presiden) sekaligus pandai memelihara warga negara yang terjaga dan melawan pencederaan hak, aspirasi dan kepentingan mereka. Jangan-jangan, mereka alpa bahwa dalam demokrasi, setiap presiden-temporer mesti senantiasa ikhlas mengurusi oposisi-permanen.

Maka, Presiden dan semua pejabat publik sesungguhya tak punya cara lain untuk menjawab setiap kritik kalangan oposisi, selain membuktikan dengan kerja dan kinerja. Hanya dengan cara ini para pejabat publik bisa membuktikan dengan telak bahwa para pengeritik dan kritik-kritiknya adalah keliru belaka.

Yang kita perlukan bukanlah pemerintah yang sekadar sibuk mengurusi kritik, melainkan yang menjawab kritik dengan kebijakan yang tepat sasaran. Maka, sudah bukan saatnya lagi sekadar berdebat di tataran wacana. Memerintah bukanlah berkampanye. Masa berdebat sudah selesai. Pemerintah tak perlu terjebak berbalas pantun dan beradu puisi. Mereka mesti merangkai prosa.

Dalam kerangka itulah demokrasi menuntut pemerintah bekerja dalam koridor mandat dan keterwakilan. Keluar dari koridor ini adalah “pengkhianatan” dan hanya akan memfasilitasi terbangunnya – apa yang disebut Guillermo O’Donnell sebagai – “demokrasi delegatif”.

Tetapi, demokrasi juga menuntut kritik dan oposisi untuk bersetia dalam koridornya. Tak hanya tujuan dan substansi kritik yang mesti demokratis, melainkan juga caranya. Keluar dari koridor beresiko pada hilangnya otentisitas. Dalam demokrasi, bukan hanya pemerintah yang bisa berkhianat, tetapi juga masyarakat beserta gerakan-gerakan kritik dan oposisi yang mereka galang. Pada titik inilah persoalan kerapkali mengemuka.

Kecenderungan pencederaan otentisitas kritik dan oposisi sejauh ini menggejala melalui beragam bentuk: berpolitik dengan cara menggertak dan menciptakan ketakutan kolektif di tengah publik, menggerakkan massa untuk menuntut hukum ditegakkan tapi sambil main hakim sendiri (dengan memakai nama dan alasan agama secara salah kaprah), mengartikulasikan aspirasi sendiri untuk menolak tokoh dan/atau kebijakan politik sambil mengaku mewakili orang lain dan orang banyak, mencita-citakan pergantian kekuasaan tanpa persetujuan orang banyak (lewat pemilu), dan seterusnya.

Menimbang perkembangan politik selama lebih dari sewindu terakhir, saya tak percaya bahwa akan ada pihak (termasuk tentara) yang bisa mengaborsi demokrasi kita dengan begitu mudahnya. Sebagian besar kita saat ini sudah ‘terpojok’ untuk menerima demokrasi bukan saja sebagai sebuah imperasi atau keharusan normative melainkan juga sebagai kenyataan yang makin tak terhindarkan. Namun demikian, daftar pencederaan otentisitas gerakan oposisi dan kritik di atas tetap layak dicemaskan.

Pada akhirnya, Pemilu Presiden 2004 ternyata bukan saja potensial mengangkat percaya diri pejabat publik terpilih dan para pemilih, melainkan juga menaikkan sensitivitas keduanya. Masyarakat cenderung sensitif pada setiap pencederaan harapan dan kepentingan mereka. Di sisi lain, para pejabat publik, cenderung sensitif pada setiap kritik dan penolakan atas kebijakan dan langkah mereka.

Tugas sejarah kita adalah tidak terjebak pada surplus percaya diri dan sensitivitas di atas takaran. Sebuah tugas penting untuk menjaga demokrasi kita yang masih belia.

[Tempo, 23 Januari 2007]

Tidak ada komentar: